BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang
ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan
yang tinbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta yang ditinggalkan oleh
seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak
menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.
Aturan tentang waris tesebut ditetapkan oleh Allah melalui
firmannya yang terdapat dalam Al-Qur’an, terutama surah an-nisa’ ayat
7,8,11,12, dan 176, pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan warisan
telah jelas maksud, arah dan tujuannya.
Hukum kewarisan islam atau yang juga dikenal the Islamic law of
inheritance mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan sistem
hukum lainnya.
Ditinjau dari perspektif sejarah, implementasi hokum kewarisan
islam pada zaman penjajahan belanda ternyata tidak berkembang, bahkan secara
politis posisinya dikalahkan oleh sistem kewarisan hokum adat. Pada masa itu
diintrodusir teori persepsi yang bertujuan untuk mengangkat hokum kewarisan
adat dan menyisihkan penggunaan hokum kewarisan islam[1].
Banyak para sarjana hukum barat menganggap hokum kewarisan islam
tidak mempunyai sistemdan hukum islam itu hanya bersandar pada asas
patrilineal. Sementara itu, diklalangan umat islam sendiri banyak pula yang
mengira tidak ada sistem tertentu dalam hukum kewarisan islam, sehingga
menimbulkan sebuah anggapan seolah-olah hukum kewarisan islam merupakan hokum
yang sangat rumit dan sulit. Kondisi yang demikian itulah yang menyebabkan hukum
kewarisan islam menurut fiqh kebudayaan arab itu sangat sulit diterima
masarakat islam di Indonesia.
B.
Rumusan masalah
1.
Apa itu pengertian mawaris?
2.
Apakah hak masing-masing mawaris?
3.
Apakah penyebab dan penghalang mendapatkan harta warisan?
4.
Ketentuan hukum mawaris?
BAB II
PEMBAHASAN
MAWARIS DALAM ISLAM
A.
Pengertian Ilmu Mawaris
Ilmu mawaris adalah ilmu yang
mempelajari tentang cara pembagian harta yang telah di tentukan dalam Alquran dan Hadits.cara pembagian menurut ahli mawarits
adalah yang terbaik, seadil-adilnya dengan tanpa melupakan hak seorang ahli
waris sekalipun terhadap anak-anak yang masih kecil.
Ilmu mawaris
disebut juga dengan ilmu faraidh, ilmu faraidh merupakan suatu cara yang sangat
efektif untuk mendapat pembagian warisan-warisan yang berprinsip dan
nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya .
Ilmu mawaris dan
ilmu faraidh pada prinsipnya adalah sama yaitu ilmu yang membicarakan tentang
segala sesuatu yang berkenan dengan harta peninggalan orang yang meninggal
dunia.
Para waris dari golongan laki-laki
yang di sepakati pewaris mereka ada 10 orang yang secara garis besar dan Ada 15
orang secara terperinci.
a.
Golongan dari laki-laki
1.
Anak laki-laki
2.
Putra dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah
3.
Ayah
4.
kakek yang shohih dan seterusnya ke atas.
5.
saudara laki-laki seayah dan seibu
6.
saudara laki-laki seayah
7.
saudara laki-laki seibu
8.
putra saudara laki-laki seayah dan seibu
9.
putra saudara laki-laki seayah
10.
saudara laki-laki ayah yang seayah seibu
11.
saudara laki-laki seayah
12.
putra saudara laki-laki yang seayah seibu
13.
putra saudara laki-laki ayah yang seayah
14.
suami
15.
orang yang laki laki yang membebaskan budak.
b.
Golongan dari perempuan
1.
Anak perempuan
2.
Ibu
3.
putri dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
4.
nenek yang shohih dan seterusnya keatas ( ibu dari ibu )
5.
nenek yang shohih dan seterusnya keatas ( ibu dari ayah )
6.
saudara perempuan seayah dan seibu
7.
saudara perempuan seayah
8.
saudara perempuan seibu
9.
Istri
10.
orang perempuan yang membebaskan budak[2]
·
Sumber hukum iLmu mawarits dan hukum mempelajarinya
Sumber hukum ilmu mawarits Ada Tiga, yaitu:
a.
Al-Quran
Dalam Alquran telah di jelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dan
hukum-hukum mawarits. Dalam surat An-nisa’: 7-12, 176, dan pada surah lainnya.
b. Al-Hadits
Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud bahwasanya Nabi Muhammad
SAW, bersabda : “Bagilah
harta pustaka antara ahli-ahli warits menurut ( ketentuan ) kitab Allah”.
c. Ijma’ dan
Ijtihad
Para ulama
berperandalam penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan mawarits. Adapun hukum mempelajari ilmu mawarits adalah
Wajib ( fardhu kifayah ), yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di
antara mereka ada yang mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban
itu, tetapi jika tidak ada satu pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang
ikut berdosa.
·
Tujuan Ilmu Mawarits
a.
Agar dapat melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli warits
yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan syari’at Islam
b.
Agar dapat di ketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima
harta warisan dan berapa bagian masing”.
c.
Agar dapat menentukan bagian harta warisan secara adil dan benar
sehingga tidak terjadi perselisihan.
·
Syarat pewarisan
a.
Kematian
Orang yang telah meninggal dunia dan mempunyai harta maka akan di
wariskan harta peninggalannya.karna sudah merupakan ketentuan hukumnya.harta
warisan tidak mungkin di bagikan sebelum orang yang mempunyai harta peninggalan
itu di nyatakan meninggal dunia secara hakiki.
b.
Ahli waris harus masih hidup
Ahli waris yang akan menerima harta warisan dari orang yang
meninggal dunia harus masih hidup. Artinya Apabila ada ahli waris yang sudah
meninggal itu tidak berhak mendapat harta peninggalan.
c.
Ahli waris harus jelas posisinya
Masing-masing ahli waris harus dapat di ketahui posisinya secara
pasti, supaya bagian-bagian harta warisan itu dapat di peroleh sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Sebab ketentuan hukum pewrisan selalu berubah-ubah
sesuai dengan tingkatan ahli waris.
·
Rukun Pewarisan
a.
Muwaris
Yaitu Orang yang meninggal dunia atau orang yang meninggalkan harta
kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai dengan syari’at Islam
b.
Waris
Yaitu Orang yang berhak menerima harta peninggalan dari Muwarits
karena sebab-sebab tertentu. Waris di sebut juga dengan Ahli Waris.
c.
Miras
Yaitu Harta yang di tinggalkan oleh muwaris yang akan di bagikan
kepada orang-orang yang berhak menerimanya ( ahli waris ). Miras itu
bermacam-macam harta, misalnya tanah, rumah, uang, kendaraan, dan lain
sebagainya.
B.
Sebab-sebab Menerima harta warisan dan penghalang mendapatkan
warisan.
Dalam Agama islam sebab-sebab menerima harta warisan, adalah
sebagai berikut:
·
Hubungan kekeluargaan
Dalam hubungan kekeluargaan tidak membedakan antara ahli waris
laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, orang yang kuat dan Lemah.
Sesuai ketentuan yang berlaku semuanya harta warisan.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, Dalam Alquran surah An-nisa’ ayat 7 :
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, Dalam Alquran surah An-nisa’ ayat 7 :
لِلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا
تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا
مَفْرُوضًا
Artinya;
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Hubungan kekeluargaan ini bila di lihat dari penerimaannya ada tiga
kelompok:
1. Dzawil
Furudh
Yaitu
ahli waris yang memperoleh bagian tertentu seperti suami mendapat seperdua bila
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan mendapat seperempat bila orang
yang meninggal mempunyai anak.
2. Dzawil
arham
Yaitu
keluarga yang hubungan kekeluargaan nya jauh, mereka tidak termasuk ahli waris
yang mendapat bagian tertentu, tetapi mereka mendapat warisan jika ahli waris
yang dekat tidak ada.
3. Ahlul
Ashabah
Yaitu Ahli waris yang mendapat sisa harta atau menghabiskan sisa,
setelah ahli waris yang memperoleh bagian tertentu mengambil bagian
masing-masing.
·
Hubungan perkawinan
Selama perkawinan masih utuh bisa menyebabkan adanya saling waris
mewarisi. Akan tetapi, jika perkawinan sudah putus maka gugurlah saling waris
mewarisi, kecuali istri dalam keadaan masa iddah pada talak raj’i.
·
Hubungan wala’ ( memerdekakan budak )
Seseorang yang telah memerdekakan budak bisa menyebabkan memperoleh
warisan. Jika budak yang di merdekakan itu meninggal dunia, maka orang yang
memerdekakan itu berhak menerima warisan. Akan tetapi, jika orang yang
memerdekakan itu meninggal dunia maka budak yang telah di merdekakan itu tidak
berhak mendapatkan apa-apa.
·
Hubungan Agama
Apabila ada orang yang meninggal dunia tidak mempunyai
ahli waris, baik dari hubungan kekeluargaan, perkawinan, wala’, maka harta
warisannya itu di berikan kepada kaum muslimin, yaitu diserahkan ke baitul Mal
untuk kemashlahatan umat islam.
Sebab-sebab Tidak menerima /
Hilangnya Hak menerima Harta Warisan:
·
Perbudakan
Seorang
budak tidak dapat menerima warisan dan tidak dapat memberikan warisan dari dan
kepada semua keluarganya (yang mempunyai
hubungan nasab) yang meninggal dunia selama ia masih berstatus budak. Hal ini
sesuai dengan firman Allah Swt. Dalam surat an-Nahl ayat 75. [3]
·
Pembunuhan
Para ahli hukum
islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta
warisan pewaris yang dibunuhnya.
·
Berlainan Agama
Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi
kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Dasar
hukum berlainan agama sebagai mawani’ul irsi adalah hadis rasulullah saw yang
artinya :
Orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir
pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim.
·
Berlainan Negara
Ciri-ciri suatu
negara adalah memiliki kepala negara sendiri, memiliki angkatan bersenjata, dan
memiliki kedaulatan sendiri. Maka yang dimaksud berlainan negara adalah yang
berlainan ketiga unsur tersebut. Berlainan negara ada tiga kategori, yaitu berlainan
menurut hukumnya, berlainan menurut hakikatnya, dan berlainan menurut hakikat
sekaligus hukumnya. Berlainan negara antara sesama muslim, telah disepakati
fuqaha bahwa hal ini tidak menjadi penghalang untuk saling mewarisi, sebab
semua negara islam mempunyai kesatuan hukum, meskipun berlainan politik dan
sistem pemerintahannya. Yang diperselisihkan adalah berlainan negara antara
orang-orang yang non muslim.[4]
C.
Pengelompokkan ahli waris dan hak masing-masing.
-
Ahli Waris Yang masuk golongan ashabah ialah:
Anak Laki-laki
1.
Cucu laki-laki dan seterusnya ke bawah
2.
Ayah
3.
Kakek Laki-laki dan seterusnya keatas
4.
Saudara laki-laki seibu
5.
Saudara seayah
6.
Anak laki-laki dari saudara seibu seayah
7.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
8.
Paman seibu seayah
9.
Paman seayah
10.
Anak laki-laki dari paman laki-laki seibu seayah
11.
Anak laki-laki dari paman saudara seayah
12.
Laki-laki yang memerdekakan.
13.
Perempuan yang memerdekakan
Ahli waris ashabah ini menerima warisan
berdasarkan peringatan di mulai dari peringkat pertama Bila ada ashabah pada
peringkat yang lebih dekat tentu ashabah yang barada di peringkat berikutnya
akan terhijab otomatis.
Mengenal kedudukan ayah dan kakek
memang strategis, satu sisi mereka adalah dzaul furudh tetapi disisi lain
mereka juga jadi ashabah, tentu manakala atau cucu laki-laki tidak ada, ayah
dan kakek tetap menjadi dzaul furudh.
-
Bahagian Ahli Waris Dzaul Furudh
a.
Yang menerima setengah (1/2)
1.
Anak perempuan apabila hanya seorang
2.
Anak perempuan dari anak laki-laki ( cucu perempuan ), Apabila
hanya seorang, selama tidak ada anak perempuan dan cucu perempuan dari anak
laki-laki
3.
Saudara perempuan seayah, jika hanya seorang saja, dan tidak juga
tsb pada point 1 dan 2
4.
Suami, jika tidak ada anak, dan tidak ada cucu laki-laki dan anak
laki-laki
b.
Yang menerima seperempat
(1/4)
1.
Suami, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
2.
Istria tau beberapa orang istri, jika tidak ada anak atau cucu
laki-laki dari anak laki-laki
c.
Yang menerima seperdelapan (1/8)
1.
Istri atau beberapa orang istri bila ada anak atau cucu dari anak
laki-laki
d.
Yang mendapat dua pertiga (2/3)
1.
Dua orang anak perempuan atau lebih jika mereka tidak mempunyai
saudara laki-laki
2.
Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak lak-laki, selama
tidak ada anak perempuan atau saudara laki-laki
3.
Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada
anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki, atau saudara laki-laki
mereka.
4.
Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang
tsb dari point 1,2, 3
e.
Yang mendapat (1/3)
1.
Ibu, jika tidak terhalang, jika tidak meninggalkan anak atau cucu
laki-laki. Atau tidak pula meninggalkan dua orang saudara baik laki-laki maupun
perempuan , baik seibu seayah atau bukan.
2.
Dua orang laki-laki atau lebih, juga saudara perempuan seibu, dua
orang atau lebih, jika tidak ada pokok dan cabang (ayah atau kakek dan anak
atau cucu).itulah yang di maksud dengan “kalalah”. Selain itu jumlah mereka
harus ada dua orang atau lebih baik mereka lelaki atau perempuan.
f.
Yang menerima seperenam (1/6)
1.
Ibu, jika ada anak, atau cucu laki-laki dari anak laki-laki, atau
dua orang atau lebih dari saudara laki-laki dan perempuan.
2.
Ayah, jika tidak ada anak atau cucudari anak laki-laki
3.
Nenek perempuan jika tidak ada ibu
4.
Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama-sma dengan
seoranganak perempuan sekandung.
5.
Saudara perempuan seayah, jika bersama-sama dengan seorang saudara
perempuan sekandung ayah.
-
Ahli waris zul arham
Ahli waris zul arham adalah orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat dengan pewaris, namun tidak dijelaskan bagiannya dalam Al-Qur’an dan
hadis Nabi sebagai zaul furudh dan tidak pula termasuk dalam kelompok
ashabahbila kerabat yang menjadi ashabah adalah laki-laki dalam garis keturunan
laki-laki, maka zaul arham itu adalah perempuan atau laki-laki melalui garis
keturunan perempuan.
Zul arham terdapat 4 kelompok garis keturunan yaitu:
a.
Garis keturunan lurus ke bawah yaitu:
·
Anak laki-laki atau perempuan dan keturunannya.
·
Anak laki-laki atau perempuan dari cucu perempuan dan keturunannya.
b.
Anak keturunan lurus ke atas
·
Ayah dari ibu dan seterusnya ke atas
·
Ayah dari ibunya ibu dan seterusnya ke atas
·
Ayah dari ibunya ayah dan seterusnya ke atas
c.
Garis keturunan kesampig pertama, yaitu:
·
Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anaknya
·
Anak laki-laki atau perempuan dari saudara seibu dan seterusnya ke
bawah
d.
Garis keturunan kesamping kedua yaitu:
·
Saudara perempuan ( kandung, seayah, atau ibu) dari ayah dan
anaknya.
·
Saudara laki-laki atau perempuan seibu dari ayah dan seterusnya ke bawah.
·
Saudara laki-laki atau perempuan ( kandung, seayah, atau ibu) dari
ibu dan seterusnya ke bawah[5]
Allah SWT berfirman dalam surah al anfal ayat 75 yaitu:
وَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْ
بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الأرْحَامِ
بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ
Artinya: Dan orang-orang
yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka
orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan
itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di
dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
-
Cara membagi Waris
Sebagaimana di ketahui bahwa
pembagian dalam harta warisan telah di tetapkan bagian masing-masing ahli
waris, yaitu ada ahli waris yang menerima bagian tertentu yang berupa seberapa
dari warisan, di sebut furudhul muqaddarah, dan ahli waris menerima seluruh
yang tersisa setelah di ambil oleh bagian ahli waris yang termasuk
alquran-furudhul muqaddarah disebut ashabah.
Ashal masalah ialah angka yang
menjadi dasar pembagian harta warisan
dalam sesuatu masalah yakni di bagi menjadi berapa bagiankah keseluruhan harta
pusaka itu, sehingga bagian masing-masing ahli waris dapat di terimakan
sebagaimana mestinya.
Cara menentukan angka ashal masalah
ialah dengan memperhatikan angka-angka pemecahan yang terdapat pada
bagian-bagian ahli waris dzauL furudh dalam suatu kasus, yaitu dengan mencari
kelipatan persekutuan terkecil dari pada angka-angka pembagi atau angka-angka pemecahan yang ada pada
bagian-bagian ahli waris.
Dilihat dari segi angka-angka
pembagian masing-masing bagian ada, maka penentuan ashal masalah ada 4 macam,
sebagai berikut:
1.
Mudakhalah, Yaitu Apabila angka-angka pembagi pada bagian-bagian
yang ada pada suatu kasus itu saling memasuki, artinya angka pembagi yang kecil
dapat di masukkan kedalam angka pembagi yang besar, dengan kata lain angka
pembagi yang besar dapat habis dengan angka pembagi yang kecil.
2.
Mumatsalah, Yaitu apabila angka-angka pembagian pada bagian-bagian
yang ada dalam satu kasus itu sama besarnya, maka cara menentukan ashal masalah
ia dengan mengambil salah satu di antara angka-angka pembagi yang ada.
3.
Mubayanah, Yaitu Apabila angka-angka pembagian pada bagian yang ada
dalam suatu kasus itu berbeda yang satu dengan lain, maka pembagian yang satu
tidak habis di bagi dengan angka pembagi yang lain serta tidak mempunyai
pembagi yang sama antara angka-angka pembagian yang ada.
4.
Muwafaqah, Yaitu apabila angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang
ada dalam suatu kasus berbeda antara yang satu yang lain, tetapi angka-angka
pembagi tersebut mempunyai pembagian yang sama.
D.
Gugurnya Ahli Waris
1.
Bagian Untuk nenek perempuan menjadi gugur karena ada
ibu, atau datuk laki-laki terhalang karena ada ayahnya.
2.
Bagian saudara ibu menjadi gugur karena ada salah seorang
dari 4 Macam ahli waris:
a.
Anak
b.
Cucu dariAnak
laki-laki
c.
Ayah
d.
Datuk laki-laki
3.
Bagian saudara Laki-laki sekandung menjadi gugur, karena
ada salah seorang dari tiga ahli waris yaitu :
a.
Anak Laki-laki
b.
cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.
Ayah
4.
Bagian Anak Ayah( Saudara laki-laki atau perempuan seayah
) manjadi gugur, karena adanya salah seorang tersebut di atas, yakni anak
laki-laki, cucu laki- laki dari anak laki-laki atau ayah.Dan jika ada saudara laki-laki
seayah seibu.
5.
Empat orang yang dapat menjadi ‘Ashobah kepada
saudara-saudara perempuan mereka Yakni:
a.
Anak laki-laki
b.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.
Saudara laki-laki sekandung
d.
Saudara laki-laki seAyah
E.
‘AUL DAN RAD
1.
Masalah ‘Aul
Ialah keadaan yang berlebihnya saham –saham para di pecah-pecah
sejumlah angka asal masalah pasti tidak cukup untuk memenuhi saham-saham dzawil
furudh.
Salah satu cara yang di lakukan
untuk menyelesaikan ‘Aul adalah :
Setelah
di ketahui bagian-bagian ashbul furudh hendaknya di cari asal masalah, kemudian
di cari saham-saham dari masing-masing ashabul furudh itu di jumlah, maka asal
masalah yang semula di benarkan dengan menambahkan angka tertentu sehingga
besarnya sama denganjumlah saham-saham para ahli waris, dengan kata lain asal
masalah yang baru di pakai ialah jumlah saham-saham yang harus di terima oleh
para ahli waris.
2.
Masalah Rad
Menurut
fuqaha ialah pengambilan apa yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyah
kepada merekasesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang
lain yang berhak untuk menerimanya.
Rad tidak akan terjadi kecuali bila
ada tiga rukun:
a.
Adanya pemilik Fard (
sahibul Fadh )
b.
Adanya sisa peninggalan
c.
Tidak adanya ahli waris ashabah
Untuk menyelesaikan secara tuntas pembagian harta warisan
terdapat sisa lebih dan di radkan, atau mengandung masalah rad, terlebih dahulu
haruslah di teliti apakah dalam kasus di maksud terdapat ahli waris yang
ditolak menerima rad ataukah tidak.
Jika dari Antara ahli waris ashabul furudh itu tidak
terdapat seorang pun yang ditolak menerima tambahan dari sisa lebih yang
diradkan itu.[6]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Harta seseorang yang telah mati
beralih kepada seseorang yang masih hidup bila diantara keduanya terdapat suatu
bentuk hubungan, hubungan kewarisan menurut islam ada dalam beberapa bentuk :
a)
Hubungan kekerabatan atau nasab atau disebut juga hubungan darah
b)
Hubungan perkawinan
c)
Hubungan pemerdekaan hamba
d)
Hubungan sesama islam
Sumber hukum ilmu mawarits Ada Tiga, yaitu:
d.
Al-Quran
Dalam Alquran telah di jelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dan
hukum-hukum mawarits. Dalam surat An-nisa’: 7-12, 176, dan pada surah lainnya.
e. Al-Hadits
Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud bahwasanya Nabi Muhammad
SAW, bersabda : “Bagilah
harta pustaka antara ahli-ahli warits menurut ( ketentuan ) kitab Allah”.
f. Ijma’ dan
Ijtihad
Para ulama
berperandalam penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan mawarits. Adapun hukum mempelajari ilmu mawarits adalah
Wajib ( fardhu kifayah ), yaitu apabila di suatu tempat ada salah seorang di
antara mereka ada yang mempelajari, maka sudah di anggap terpenuhi kewajiban
itu, tetapi jika tidak ada satu pun dari mereka mempelajarinya maka semua orang
ikut berdosa.
DAFTAR PUSTAKA
Hafsah, Fiqih, ( Medan : Cita Pustaka Media
Perintis, 2011 )
Imran Ali, Fikih, ( Medan : Cita Pustaka Media
perintis, 2011 )
Drs. H. Moh. Muhibbin, hukum
kewarisan islam, sinar grafika, 2009, Jakarta.
Prof. Dr. Amir Syarifuddin,
Garis-Garis Besar Fiqih, Prenada Media, 2003, Jakarta.
Dep. Agama, Ilmu Fiqih, Jakarta,
1986.
uwuu
BalasHapus