BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sering kali kita sebagai
orang islam tidak mengetahui kewajiban kita sebagai mahluk yang paling sempurna
yaitu sholat, atau terkadang tau tentang kewajiban tapi tidak mengerti terhadap
apa yang dilakukaan. Selain itu juga bagi kaum fanatis yang tidak menghargai
tentang arti khilafiyah, dan menganggap yang berbeda itu yang salah. Oleh
karena itu mari kita kaji bersama tentang arti shalat, dan cara mengerjakannya
serta beberapa unsur didalamnya. Dalam pembahasan kali ini juga di paparkan sholat dan macamnya. Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf
dan harus
dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan. Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima
sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan
shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan
shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah
17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa
kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat
wajib ada juga shalat – shalat sunah.
Untuk membatasi bahasan penulisan dalam permasalahan ini, maka penulis hanya
membahas
tentang shalat wajib kaitannya dengan kehidupan sehari – hari.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Pengertian Shalat
2.
Macam-macam Shalat ( Wajib & Sunnah )
3.
Kedudukan Shalat dalam Islam
4.
Landasan hukum sholat ( Wajib & Sunnah )
5.
Persamaan dan perbedaan pendapat 4 mazhab mengenai sholat
BAB II
SHOLAT
2.1. PENGERTIAN SHOLAT
Sholat
berasal dari bahasa Arab As-Sholah, sholat menurut bahasa (etimologi) berarti do'a, dan secara terminologi / istilah, para ahli fiqih mengartikan secara lahir
dan hakiki.
Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai
dengan takbir dan yang telah ditentukan (Sidi Gazalba,88).
Adapun
scara hakikinya ialah” berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara yang mendatangkan
takut kepada-Nya serta menumbuhkan didalam jiwa rasa kebesarannya dan
kesempurnaan kekuasaan-Nya”atau” mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada
Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua-duanya. (Hasbi AsySyidiqi, 59).
Dalam
pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara hamba dengan
Tuhannya sebagai bentuk ibadah yang di dalamnya merupakan amalan yang tersusun
dari beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ikhram dan
diakhiri dengan salam, serta sesuai dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’.
(Imam Bashari Assayuthi, 30).
Dari
beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang diawali dengan
takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan
syara”. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah
dalam rangka ibadah dan memohon rido-Nya. Sholat dalam agama islam
menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah manapun juga, ia
merupakan tiang agama dimana ia tak dapat tegak kecuali dengan itu.
2.2. MACAM-MACAM SHOLAT WAJIB DAN SHOLAT SUNNAH
2.2.1. Macam-macam sholat wajib:
1) Sholat
Isya' yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat) raka'at dengan dua kali
tasyahud dan satu kali salam. Waktu pelaksanaannya dilakukan menjelang malam (+
pukul 19:00 s/d menjelang fajar) yang diiringi dengan sholat sunnah qobliyah
(sebelum) dan ba'diyah (sesudah) sholat isya.
2)
Sholat Subuh yaitu sholat yang dikerjakan 2 (dua) raka'at dengan satu
kali salam. Adapaun waktu pelaksanaannya dilakukan setelah fajar (+ pukul
04:10) yang hanya diiringi dengan sholat sunnah qobliyah saja, sedang ba'diyah
dilarang.
3) Sholat
Lohor (Zhuhur) yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat) raka'at dengan dua
kali tasyahud dan satu kali salam. Adapun waktu pelaksaannya dilakukan sa'at
matahari tepat di atas kepala (tegak lurus) + pukul 12:00 siang, yang diiringi
dengan sholat sunnah qobliyah dan sholat sunnah ba'diyah (dua raka'at-dua
raka'at atau empat raka'at-empat raka'at dengan satu kali salam).
4) Sholat
Ashar yaitu sholat yang dikerjakan 4 (empat) raka'at dengan dua kali
tasyahud dan satu kali salam. Adapun waktu pelaksanaannya dilakukan setelah matahari
tergelincir (+ pukul 15:15 sore atau sebatas pandangan mata) yang hanya
diiringi oleh sholat sunnah qobliyah dengan dua raka'at atau empat raka'at
(satu kali salam).
5) Sholat
Maghrib yaitu sholat yang dikerjakan 3 (tiga) raka'at dengan dua kali
tasyahud dan satu kali salam. Adapun waktu pelaksanaanya dilakukan setelah
matahari terbenam (+ pukul 18:00) yang diiringi oleh sholat sunnah ba'diyah dua
raka'at atau empat raka'at dengan satu kali salam, sedang sholat sunnah
qobliyah hanya dianjurkan saja bila mungkin dilakukan, tapi bila tidak jangan
(karena akan kehabisan waktu).
2.2.2. Macam-macam sholat sunah:
Shalat sunah tahajud adalah shalat yang dikerjakan pada waktu tengah
malam di antara shalat isya’ dan Shalat shubuh setelah bangun tidur. Jumlah
rokaat shalat tahajud minimal dua rokaat hingga
tidak terbatas. Saat hendak kembali tidur sebaiknya membaca ayat kursi,
surat al-ikhlas, surat al-falaq dan surat an-nas.
Shalat Dhuha adalah shalat sunah yang dilakukan pada pagi hari
antara pukul 07.00 hingga jam 10.00 waktu setempat. Jumlah roka'at shalat dhuha minimal dua rokaat dan
maksimal dua belas roka'at dengan satu salam setiap dua roka'at. Manfaat dari shalat dhuha adalah supaya dilapangkan
dada dalam segala hal, terutama rejeki. Saat melakukan sholat dhuha sebaiknya membaca ayat-ayat
surat al-waqi'ah, adh-dhuha, al-quraisy, asy-syamsi, al-kafirun dan al-ikhlas.
Shalat istikharah adalah shalat yang tujuannya adalah untuk
mendapatkan petunjuk dari Allah SWT dalam menentukan pilihan hidup baik yang
terdiri dari dua hal/perkara maupun lebih dari dua. Hasil dari petunjuk Allah
SWT akan menghilangkan kebimbangan dan kekecewaan di kemudian hari. Setiap
kegagalan akan memberikan pelajaran dan pengalaman yang kelak akan berguna di
masa yang akan datang. Contoh kasus penentuan pilihan:
- memilih jodoh suami/istri
- memilih pekerjaan
- memutuskan suatu perkara
- memilih tempat tinggal, dan lain sebagainya
Dalam melakukan shalat istikharah sebaiknya juga
melakukan, puasa sunah, shodaqoh, zikir, dan amalan
baik lainnya.
Shalat tasbih adalah solat yang bertujuan
untuk memperbanyak memahasucikan Allah SWT. Waktu pengerjaan shalat bebas. Setiap rokaat dibarengi
dengan 75 kali bacaan tasbih. Jika shalat dilakukan siang hari, jumlah
rokaatnya adalah empat rokaat salam salam, sedangkan jika malam hari dengan dua
salam.
Shalat taubat adalah shalat dua roka'at yang dikerjakan bagi
orang yang ingin bertaubat, insyaf atau menyesali perbuatan dosa yang telah
dilakukannya dengan bersumpah tidak akan melakukan serta mengulangi perbuatan
dosanya tersebut. Sebaiknya shalat sunah taubat dibarengi dengan puasa, shodaqoh dan sholat.
Shalat Hajat adalah shalat agar hajat atau cita-citanya
dikabulkan oleh Allah SWT. Shalat hajat dikerjakan bersamaan dengan
ikhtiar atau usaha untuk mencapai hajat atau cita-cita. Shalat sunah hajat dilakukan minimal dua
rokaat dan maksimal dua belas bisa kapan saja dengan satu salam setiap dua
roka'at, namun lebih baik dilakukan pada sepertiga terakhir waktu malam.
Shalat safar adalah sholat yang dilakukan
oleh orang yang sebelum bepergian atau melakukan perjalanan selama tidak
bertujuan untuk maksiat seperti pergi haji, mencari ilmu, mencari kerja,
berdagang, dan sebagainya. Tujuan utamanya adalah supaya mendapat keridhoan,
keselamatan dan perlindungan dari Allah SWT.
Shalat sunah rawatib dilakukan
sebelum dan setelah shalat fardhu. Yang sebelum Shalat Fardhu disebut shalat qobliyah, dan yang setelah shalat fardhu di sebut shalat Ba'diyah. Keutamaannya adalah sebagai
pelengkap dan penambal shalat fardhu yang mungkin kurang khusu
atau tidak tumaninah.
Shalat sunah ini di lakukan untuk memohon turunnya hujan.
dilakukan secara berjamaah saat musim kemarau.
Shalat sunah witir dilakukan
setelah sampai sebelum fajar. bagi yang yakin akan bangun malam diutamakan
dilakukan saat sepertiga malam setelah shalat Tahajud. Shalat witir disebut juga shalat penutup. biasa dilakukan sebanyak
tiga rakaat dalam dua kali salam, dua rakaat pertama salam dan dilanjutkan satu
rakaat lagi.
11. Shalat Tahiyatul
Masjid.
Shalat tahiyatul masjid ialah shalat
untuk menghormati masjid. Disunnahkan shalat tahiyatul masjid bagi orang yang
masuk ke masjid, sebelum ia duduk. Shalat tahiyatul masjid itu dua raka’at.
12. Shalat Tarawih.
Shalat Tarawih yaitu shalat malam pada bulan ramadhan
hukumnya sunnah muakad atau penting bagi laki-laki atau perempuan, boleh
dikerjakan sendiri-sendiri dan boleh pula berjama’ah.
13. Shalat Hari Raya (Idul Adha
dan Idul Fitri).
Sebagaimana telah diterangkan bahwa
waktu shalat hari raya idul fitri adalah tanggal 1 syawal mulai dari terbit
matahari sampai tergeincirnya. Akan tetapi, jika diketahui sesudah
tergelincirnya matahari bahwa hari itu tanggal 1 syawal jadi waktu shalat telah
habis, maka hendaklah shalat di hari kedua atau tanggal 2 saja. Sedangkan untuk
shalat hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.
14. Shalat Dua Gerhana.
Kusuf adalah gerhana matahari dan khusuf adalah gerhana
bulan.
Shalat kusuf dan khusuf hukumnya sunnah muakaddah berdasarkan sabda Nabi saw.
Yang artinya :
“Sesungguhnya matahari dan bulan
tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang maupun kehidupannya. Maka
apabila kalian menyaksikan itu, hendaklah kalian shalat dan berdoa kepada Allah
Ta’ala.” (H.R. Syaikhain).
15. Sholat
Rawatib.
Sholat rawatib adalah sholat
sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah dholat fardu. Seluruh dari sholat
rawatib ini yaitu ada 22 rakaat, yaitu :
v 2 rakaat sebelum sholat subuh (sesudah sholat subuh
tidak ada sholat sunah ba’diyah).
v 2 rakaat sebelum sholat zuhur. 2 atau 4 rakaat
sesudah zuhur.
v 2 rakaat atau 4 rakaat sebelum sholat ashar,
(sesudah sholat ashar tidak ada sholat ba’diyah).
v 2 rakaat sesudah sholat maghrib.
v 2 rakaat sebelum sholat isya.
v 2 rakaat sesudah sholat isya.
Sholat-sholat tersebut yang
dikerjakan sebelum sholat fardhu, dinamakan “qobliyah” dan sesudahnya disebut “
ba’diyah”.
2.3.
KEDUDUKAN SHALAT DALAM ISLAM
Shalat sebenarnya telah dipersintahkan
Allah kepada umat terdahulu sebelum umat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wasallam. Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Wahai Bani Isra’il ingatlah nikmat
yang telah Aku berikan kepada kalian …… tegakkanlah shalat, keluarkanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku. [Al Baqarah: 40-43].
Allah juga berfirman (artinya), “Dan tidaklah mereka (ahlul kitab dan
musyrikin) diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah semata,
menegakkan shalat dan mengeluarkan
zakat. Demikianlah agama yang lurus.”[Al Bayyinah: 5].
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar
Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya: “Islam dibangun atas lima (perkara): kesaksian
bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa
Ramadhan.
Adapun
kedudukan sholat dalam islam yaitu:
1. Shalat
sebagai sebab seseorang ditolong oleh Allah. Hal ini karena Allah sendiri
berfirman (artinya), “ Wahai orang-orang yang beriman mintalah pertolongan
kepada Allah dengan kesabaran dan shalat” [Al Baqarah 153]. Shalat bila
ditunaikan sebagaimana mestinya niscaya akan menyebabkan seseorang ditolong oleh
Allah dalam setiap urusannya.
2. Shalat
merupakan sebab seseorang tercegah dari kekejian dan kemungkaran. Allah
berfirman (artinya), “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan
kemungkaran.” [Al Ankabuut 45]. Jika shalat dikerjakan dengan semestinya pasti
akan mencegah pelakunya dari kekejian dan kemungkaran dengan ijin Allah.
3. Shalat merupakan salah satu rukun islam. [H.R Al bukhari 8 dan Muslim 16].
4. Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab/ dihitung di hari kiamat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wasallam bersabda (artinya), “Sesungguhnya amalan seorang hamba yang pertama
kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka ia
akan beruntung dan selamat. Namun bila shalatnya jelek maka ia akan merugi dan
celaka..” [H.R At Tirmidzi 413 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani]. Yang
dimaksud shalat merupakan amalan pertama kali yang dihisab di hari kiamat
adalah shalat wajib, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam yang
lain (artinya), “Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari seorang muslim
pada hari kiamat adalah shalat wajib…” [H.R ibnu Majah 1425 dan dishahihkan Asy
Syaikh Al Albani]. Telah dimaklumi bahwa shalat yang diwajibkan kepada kita
adalah shalat 5 waktu (Zhuhur, ‘Ashr, Maghib, Isya’ dan Subuh). Demikian pula
shalat Jum’at bagi
pria. Inilah yang disepakati seluruh ulama.
5. Keutamaan shalat dapat dilihat dari awal perintah untuk mengerjakannya yaitu
diperintahkan langsung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tanpa
melalui perantara Jibril “alaihis Salaam, di tempat yang tertinggi yang pernah
dicapai manusia yaitu langit ketujuh, di malam yang paling utama bagi Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam yaitu malam Isra’ Mi’raj dan
diwajibkan disetiap hari sepanjang hidup seorang muslim.
2.3.1. Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Seluruh
ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari wajibnya shalat, maka dia
kafir dan keluar dari Islam. Tetapi mereka berselisih tentang orang yang
meninggalkan shalat dengan tetap meyakini kewajiban hukumnya. Sebab
perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menamakan orang yang meninggalkan shalat sebagai orang kafir, tanpa
membedakan antara orang yang mengingkari dan yang bermalas-malasan
mengerjakannya.
Dari
Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan
kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”
Dari
Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda yang artinya : Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat.
Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.’”
Namun
yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama’, bahwa yang dimaksud dengan kufur
di sini adalah kufur kecil yang tidak mengeluarkan dari agama. Ini adalah hasil
kompromi antara hadits-hadits tersebut dengan beberapa hadits lain, di
antaranya:
Dari
‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya :
‘Lima
shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa mengerjakannya dan tidak
menyia-nyiakannya sedikit pun karena menganggap enteng, maka dia memiliki
perjanjian de-ngan Allah untuk memasukkannya ke Surga. Dan barangsiapa tidak
mengerjakannya, maka dia tidak memiliki perjanjian dengan Allah. Jika Dia
berkehendak, maka Dia mengadzabnya. Atau jika Dia berkehendak, maka Dia
mengampuninya.’”
Kita
menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih di bawah derajat kekufuran
dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan
perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada kehendak Allah.
Sedangkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اbÎ !$# w ãÏÿøót br& x8uô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótur $tB tbrß y7Ï9ºs `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8Îô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #utIøù$# $¸JøOÎ) $¸JÏàtã ÇÍÑÈ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan
Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu,
ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada
hari Kiamat adalah shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka
ia selamat). Jika tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki shalat
sunnah? Jika dia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh
shalat sunnah tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya dihisab seperti halnya
shalat tadi.’”
Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam akan
lenyap sebagaimana lenyapnya warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi
diketahui apa itu puasa, shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah akan diangkat
dalam satu malam, hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah
segolongan manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, ‘Kami
dapati bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan kami pun
mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat laa ilaaha
illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak tahu apa itu shalat,
puasa, qurban, dan shadaqah?”
Lalu Hudzaifah berpaling darinya.
Shilah mengulangi pertanyaannya tiga kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah
berpaling darinya. Pada kali yang ketiga, Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai
Shilah, kalimat itulah yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya
tiga kali.”
2.4.
LANDASAN
HUKUM SHALAT WJIB DAN SUNNAH
a. Landasan hukum sholat wajib
a.1. Landasan Al qur’an
Kewajiban shalat dapat dilihat dalam
(Q.S:Al Baqarah 2:110)
Yang artinya: Dan dirikanlah sholat
tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu
kamu akan mendapat pahalanyapada sisi Allah. Sesungguhnya Allah maha melihat
apa-apa yang kamu kerjakan.
Kemudian dalam (Q.S:An Nisa 4:103)
Yang artinya: Maka apabila kamu telah menyelesaikan sholat
(mu), ingat Allah diwaktu berdiri, diwaktu duduk, dan di waktu berbaring.
Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah sholat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman.
Dan banyak lagi seperti dalam
surat-surat berikut ini:
2:277, 4:103, 4:162, 5:12, 6:72, 6:92, 7:29,
8:3, 9:11, 9:18, 9:71, 13:22, 14:31, 14:37, 14:40, 20:132, 22:78, 24:56, 30:31,
33:33, 58:13.
a.2. Landasan hadits
landasan hukum bagi sholat wajib
termuat dalam Hadist Shahih Bukhari No. 211 Jilid I
yakni isinya tentang proses terjadinya isra’ wal mi’raj dimana pada peristiwa
dimana nabi diberikan perintah sholat yang awalnya 50 rakaat di perkecil
menjadi 5 rakaat.
b.
Landasan hukum sholat sunnah
Shalat Idul Fitri, Shalat Idul Adha
Hadist
mengenai Shalat Sunnah di atas Ibnu Abbas Ra.
berkata: “Aku shalat Idul Fithri bersama Rasulullah SAW dan Abu bakar dan Umar,
beliau semua melakukan shalat tersebut sebelum khutbah.” (HR Imam Bukhari dan
Muslim)
Shalat Kusuf (Gerhana Matahari), Shalat Khusuf (Gerhana Bulan)
Hadist tentang Shalat Kusuf dan Shalat Khusuf :
“Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda (kebesaran) Allah
SWT. Tidak terjadi gerhana karena kematian seseorang, tidak juga karena
kehidupan (kelahiran) seseorang. Apabila kalian mengalaminya (gerhana), maka
shalatlah dan berdoalah, sehingga (gerhana itu) berakhir.” (HR Imam Bukhari dan
Muslim)
Shalat Istisqo’
Dari Ibnu Abbas Ra., bahwasannya Nabi SAW
shalat istisqo’ dua raka’at, seperti shalat ‘Id. (HR Imam Nasa’i, Abu Dawud,
Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Shalat Sunnah Sendiri
Shalat
Rawatib (Shalat yang mengiringi Shalat Fardlu)
Hadist yang
menjelaskan tentang ini Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW senantiasa menjaga
(melakukan) 10 rakaat (rawatib), yaitu: 2 raka’at sebelum Dzuhur dan 2 raka’at
sesudahnya, 2 raka’at sesudah Maghrib di rumah beliau, 2 raka’at sesudah Isya’
di rumah beliau, dan 2 raka’at sebelum Shubuh … (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Shalat Tahajjud (Qiyamullail)
Al-Qur’an surah
Al-Israa’ ayat 79, As-Sajdah ayat 16 – 17, dan Al-Furqaan ayat 64. Dilakukan
dua raka’at-dua raka’at dengan jumlah raka’at tidak dibatasi.
Shalat Dhuha
Dari A’isyah
Rda., adalah Nabi SAW shalat Dhuha 4 raka’at, tidak dipisah keduanya (tiap
shalat 2 raka’at) dengan pembicaraan.” (HR Abu Ya’la)
Shalat
Tahiyyatul Masjid
Dari Abu
Qatadah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian
masuk masjid, janganlah duduk sehingga shalat dua raka’at.” (HR Jama’ah Ahli Hadits)
Shalat Taubat
Nabi SAW
bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang berdosa, kemudian ia bangun berwudhu
kemudian shalat dua raka’at dan memohon ampunan kepada Allah, kecuali ia akan
diampuni.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan lain-lain)
Shalat Istikharah
Dari Jabir bin
Abdillah berkata: “Adalah Rasulullah SAW mengajari kami Istikharah dalam segala
hal … beliau SAW bersabda: ‘apabila salah seorang dari kalian berhasrat pada
sesuatu, maka shalatlah dua rakaat di luar shalat fardhu …dan menyebutkan
perlunya’ …” (HR Jama’ah Ahli Hadits kecuali Imam Muslim)
2.5.
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PENDAPAT 4 MAZHAB MENGENAI
SHOLAT
- Niat : semua ulama mazhab
sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta.
(Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim berpendapat dalam
bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama
dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad
saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan
beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama
sekali. (Mughniyah; 2001)
- Takbiratul Ihram : shalat tidak
akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram
ini berdasarkan sabda Rasulullah saw : (Mughniyah; 2001)
“Kunci shalat adalah bersuci, dan
yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain
perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya
adalah salam.”
Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul ihram adalah “Allah
Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya.
(Mughniyah; 2001) Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan
”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata
“Akbar”. (Mughniyah; 2001) Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang
sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam”
dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
(Mughniyah; 2001) Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam
bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam
(bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001) Hanafi : Sah mengucapkannya dengan
bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. (Mughniyah; 2001) Semua
ulama mazhab sepakat : syarat takbiratul ihram adalah semua yang
disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam
mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar
secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah;
2001)
Berdiri
: semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu
itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap,
bila tidak mampu ia boleh shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh
shalat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di
liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan
semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat
: siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan menghadap kiblat
dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud tetap menghadap
kiblat. (Mughniyah; 2001)
Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i dan
Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke
kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau
dengan kelopak matanya. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka
gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (meng-qadha’-nya)
bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001) Maliki
: bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak
diwajibkan meng-qadha’-nya. (Mughniyah; 2001) Syafi’i dan
Hambali : shalat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun.
Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata),
maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan
dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka
ia harus menggambarkan tentang melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya
masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
- Bacaan
: ulama mazhab berbeda pendapat.
Hanafi : membaca Al-Fatihah dalam
shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu
boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 : (Mughniyah; 2001)
”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul
Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus
shalah). Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk
bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan.
Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca
dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan
bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu
tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan
menyilangkan dua tangan aalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih
utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak
tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama
adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat
tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat
terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu
merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa
pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat
pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca
dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah
mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan
membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama
saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi
lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya
yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di
atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki :
membaca Al-Fatihah itu harus pada setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada
rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat
fardhu maupun shalat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi’i, dan
disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang
pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan
untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua
rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta qunut pada shalat
subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi
disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
Hambali
: wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan
membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh,
serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya
dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya
harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada
shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan
dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah
meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang
kiri, dan meletakkan di bawah pusar. (Mughniyah; 2001).
Empat mazhab menyatakan bahwa
membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001) ”kalau ingin mengucapkan
Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
- Ruku’ : semua ulama mazhab
sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka
berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di
dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak
bergerak. (Mughniyah; 2001)
Hanafi : yang diwajibkan hanya
semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah.
Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang
shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah
dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah; 2001) Syafi’i,
Hanafi, dan Maliki : tidak wajib berdzikir ketika
shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan : (Mughniyah; 2001) Subhaana
rabbiyal ’adziim ”Maha Suci Tuhanku Yang Maha
Agung”
Hambali : membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib.
(Mughniyah; 2001)Kalimatnya menurut Hambali : Subhaana
rabbiyal ’adziim ”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal
(dalam keadaan berdiri). (Mughniyah; 2001) Dibolehkan untuk langsung sujud,
namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib
mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’,
yaitu mengucapkan : Sami’allahuliman hamidah ”Allah
mendengar orang yang memuji-Nya”
5.
Sujud
: semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan
dua kali pada setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya.
(Mughniyah; 2001)
Maliki, Syafi’i, dan Hanafi
: yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah
sunnah. (Mughniyah; 2001) Hambali : yang diwajibkan itu semua
anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki)
secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga
menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam
sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’
juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan
duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib
duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
- Tahiyyat : tahiyyat di
dalam shalat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat
yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur,
dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat
yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau
empat rakaat. (Mughniyah; 2001)
Hambali : tahiyyat pertama
itu wajib. Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat
terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi :
hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001) Kalimat (lafadz) tahiyyat
menurut Hanafi : Attahiyatu lillahi washolawaatu
waththoyyibaatu wassalaamu ”Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat
dan kebaikan serta salam sejahtera” ’alaika ayyuhannabiyyu
warahmatullahi wabarakaatuh ”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat
Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga
kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah” Waasyhadu
anna muhammadan ’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa
muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya” Menurut Maliki (Mughniyah;
2001) Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu
ashsholawaatu lillah ”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian
bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah” Assalaamu’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh ”Salam sejahtera kepadamu,
wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya” Assalaamu’alainaa
wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga kesejahteraan tercurah
kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh” Asyhadu anlaa
ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah ”Aku bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya” Waasyhadu
anna muhammadan ’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa
muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001) Attahiyyatul
mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah ”Kehormatan,
barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah” Assalaamu’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga
kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah” Waasyhadu
anna muhammadan ’abduhu warosuuluh ”Dan aku bersaksi bahwa
muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya” Menurut Hambali :
(Mughniyah; 2001) Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh ”Salam
sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya” Assalaamu’alainaa
wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin ”Semoga kesejahteraan tercurah
kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh” Asyhadu anlaa
ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu
bagi-Nya” Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh ”Dan
aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya” Allahumma
sholli ’alaa Muhammad ”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada
muhammad”
- Mengucapkan
salam (Mughniyah; 2001)
Syafi’i,
Maliki, dan Hambali :
mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib.
(Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126). Menurut empat mazhab,
kalimatnya sama yaitu Assalaamu’alaikum warahmatullaah ”Semoga
kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian” Hambali :
wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu
kali saja yang wajib. (Mughniyah; 2001)
8. Tertib : diwajibkan tertib antara
bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari
bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib
didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan daru sujud, begitu seterusnya.
(Mughniyah; 2001)
- Berturut-turut
: diwajibkan mengerjakan bagian-bagian shalat secara berurutan dan
langsung, juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca
Al-Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’
setelah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu
seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat,
kalimat-kalimat, dan huruf-huruf. (Mughniyah; 2001)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sholat
merupakan inti (kunci) dari segala ibadah juga merupakan tiang agama,dengannya
agama bisa tegak dengannya pula agama bisa runtuh. Sholat mempunyai dua
unsuryaitu dzohiriyah dan batiniyah. Unsur dzohiriyah adalah yang menyangkut
perilaku berdasarpada gerakan sholat itu sendiri, sedangkan unsur yang bersifat
batiniyah adalah sifatnyatersembunyi dalam hati karena hanya Allah-lah yang
dapat menilainya. Shalat banyak macamnya ada shalat sunnah, ada juga sholat
fardhu yang telah ditentukan waktunya. Khilafiyyah kaum muslimin tentang shalat
adalah hal yang biasa karena rujukan danpengkajiannya semuanya bersumber dari
Al-Qur‟an dan hadis, hendaknya perbedaan tersebutmenjadi hikmah keberagaman
umat islam. Shalat banyak macamnya ada shalat sunnah, ada juga sholat fardhu
yang telah ditentukan waktunya.
3.2. Saran
Sebaiknya
sebagai umat islam yang baik kita senantiasa mendirikan solat, dan menghidupkan sunah rosul dan dilakukan sesuai
yang dicontohkan rosul.
Daftar Pustaka
v Al-
Quranur Karim
v Moh, Rifa’I, Fiqh Islam Lengkap ( Semarang :Karya Toha Putra, 1978 )
v Muttafaq
‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/45 no. 16 (20))], ini adalah lafazh darinya,
Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/49 no. 8), Sunan at-Tirmidzi (IV/119 no.
2736), Sunan an-Nasa-i (VIII/107).
v Shahih:
[Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 884)], Sunan Ibni Majah (I/342 no. 1079), Sunan
an-Nasa-i (I/231), dan Sunan at-Tirmidzi (IV/125 no. 2756).
v Shahiih:
[Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1150)], Muwaththa’ al-Imam Malik (hal. 90 no.
266), Ahmad (II/234 no. 82), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/ 93 no. 421),
Sunan Ibni Majah (I/449 no. 1401), dan Sunan an-Nasa-I (I/230).
v Shahiih:
[Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 3273)], dan Sunan Ibni Majah (II/1344 no. 4049).