BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bersuci merupakan hal yang sangat erat kaitannya dan tidak
dapat dipisahkan dengan ibadah. Shalat dan haji misalnya, tanpa bersuci orang
yang hadats tidak dapat menunaikan ibadah tersebut.
Banyak orang mungkin tidak tahu bahwa
sesungguhnya bersuci memiliki tata cara atau aturan yang harus dipenuhi. Kalau
tidak dipenuhi, tidak akan sah bersucinya dan secara otomatis ibadah yang
dikerjakan juga tidak sah. Terkadang ada problema ketika orang itu tidak
menemukan air, maka Islam mempermudahkan orang tersebut untuk melakukan tayamum
sebagai ganti dari mandi, yang mana alat bersucinya dengan mengunakan debu.
Tetapi bagaimana jika ada orang yang tidak menemukan kedua
alat bersuci? Lalu bagaimana orang tersebut bersuci? Tidak hanya orang yang
tidak menemukan kedua alat bersuci, yang dalam istilah fiqihnya disebut dengan faaqiduth
thohuuroini. Bagaimana tata cara bersuci yang benar bagi orang sakit, misal
kakinya diperban atau pasien rawat inap di rumah sakit yang biasanya tidak
boleh terkena air?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin sering kita jumpai di kalangan
masyarakat, dan bukan tidak mungkin kita pun akan mengalaminya. Tanpa adanya
kajian khusus tentang hal-hal di atas bukan tidak mungkin kita sebagai
mahasiswa Sekolah Tinggi Islam berbasis pesantren tidak dapat menyelesaikan
kasus-kasus tersebut.
Berawal
dari deskripsi di atas ditambah dengan tugas mata kuliah Pengembangan Materi
PAI, kami mencoba menguraikan hal-hal di atas, walau pun tidak dapat dikatakan
menyeluruh. Minimal dengan adanya makalah ini, kita mengetahui gambaran status
hukum kasus-kasus tersebut, semoga tergerak untuk melaksanakan studi yang mendalam
tentang hukum peribadatan Islam ini atau menarik hal positif lain yang nanti
akan berguna di kehidupan kita nanti. Aamiin.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian dari thaharah, wudhu’ dan tayamum?
2.
Sebutkan
landasan hukum mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum?
3.
Jelaskan
pembagian mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari thaharah, wudhu’ dan tayamum.
2.
Untuk
mengetahui landasan hukum mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum.
3.
Untuk
mengetahui pembagian mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Thaharah, Wudhu dan Tayamum
1. Pengertian
Thaharah
Thaharah adalah
merupakan salah satu syarat dalam melakukan suatu amal ibadah, terutama dalam
shalat, haji, dan sebagainya baik itu bersuci dari hadats kecil maupun bersuci
dari hadats besar, karena setiap amal ibadah yang kurang salah satu syaratnya,
maka amal ibadah itu kurang sempurna sahnya.
Thaharah menurut bahasa artinya
“bersih”.[1]
Dalam Hadits Pilihan Shahih Bukahri, thaharah
artinya bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata maupun yang
tidak kasat mata seperti aib dan dosa. Sedangkan pengertian thaharah secara
terminologi syara’ berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan
najis dengan menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan
yang sesuai dengan ajaran agama Islam.[2]
Sedangkan menurut istilah, thaharah
berarti membersihkan diri dari hadats dan najis.[3]
Yaitu mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis dengan
menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan yang sesuai
dengan ajaran agama Islam.
Menurut istilah para ulama Ahli Tasawuf ialah membersihkan diri dari segala
perbuatan yang dilarang oleh Syara’ atau dari perbuatan yang akan menimbulkan
dosa dan dari budi pekerti yang buruk atau perangai yang jahat. Sedangkan
menurut istilah ulama Fikih ialah membersihkan diri dari najis dan hadas.[4]
Begitulah
pentingnya thaharah (bersuci) bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwasannya kebersihan adalah sebagian daripada iman. Namun banyak
ulama berbeda pendapat tentang
makna bersuci merupakan separuh iman. Dua pendapat yang paling masyhur adalah:
1.
Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa,
baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu
meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti
sudah memenuhi separuh iman.
2.
Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua
macam, yaitu bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan
dengan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman
adalah shalat. Jadi bersuci itu separuh dari shalat. Shalat dikatakan sebagai
iman karena merupakan pokok amalan iman.[5]
2. Pengertian Wudhu
Wudhu menurut bahasa berarti “baik” dan
“bersih”. Sedangkan menurut istilah, wudhu adalah membasuh muka, kedua tangan
sampai siku, mengusap sebagian kepala, dan membasuh kaki yang sebelumnya
didahului dengan niat serta dilakukan dengan tertib.[6]
3. Pengertian
Tayamum
Menurut
bahasa, tayamum berarti menuju ke debu. Sedangkan menurut pengertian syari’at, tayamum adalah mengusapkan debu
ke wajah dan kedua tangan dengan niat untuk mendirikan shalat atau lainnya.[9]
Menurut para ulama Fikih, ada beberapa pengertian tentang tayamum, yaitu:
a) Menurut Hanafiah, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua
tangan dengan debu yang suci.
b)
Menurut Malikiyah, tayamum adalah mengusap wajah dan
kedua tangan dengan debu yang suci disertai niat.
c)
Menurut Syafi’iyah, tayamum adalah mendatangkan debu pada
wajah dan kedua tangan atau anggota dari keduanya sebagai ganti dari wudhu’ atau
mandi dengan syarat-syarat tertentu.
d)
Menurut Hanabilah, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua
tangan dengan debu yang suci dengan cara yang ditentukan .
Menurut Hanafiyah, tayamum merupakan
pengganti yang mutlak dari wudhu, maksudnya tayamum dapat menghilangkan hadats
selama tidak ada air ketika seseorang akan menunaikan shalat. Dengan keterangan
ini bisa kita ambil kesimpulan bahwa dengan sekali tayamum, kita dapat melaksanakan
shalat fardhu lebih dari sekali, waktu bertayamum tidak harus menunggu masuknya
waktu shalat, serta hal-hal lain sebagaimana wudhu.
Pernyataan ini berbeda dengan
jumhur, yakni kedudukan tayamum menghilangkan hadats. Maka bila telah masuk
waktu shalat orang yang hadats tidak menemukan air atau karena sebab lain yang
memperbolehkan seseorang bertayamum ia dapat menunaikan shalat walau dalam
keadaan hadats dengan bertayamum karena darurat, sebagaimana kasus mustahadhoh
(orang perempuan yang istihadho).
Ulama telah sepakat bahwa tayamum
menjadi pengganti dari thaharah kecil (berhadats kecil), tetapi mereka berbeda
pendapat mengenai tentang tayamum sebagai pengganti thaharah besar (hadats
besar).[10]
Jadi tayamum adalah suatu
rukhshah/keringanan bagi orang yang tidak diperkenankan menggunakan air karena
sakit atau kesulitan untuk mendapatkan air.[11]
2.2 Landasan
Hukum Thaharah, Wudhu dan Tayamum
1. Landasan
Hukum Thaharah
Dalam pandangan
Islam, masalah bersuci dan segala yang berkaitan dengannya merupakan kegiatan
yang sangat penting, karena diantara syarat syahnya shalat ditetapkan agar
orang yang mengerjakannya suci dari hadats, suci badan, pakaian dan tempatnya
dari najis.
Thaharah hukumnya wajib
berdasarkan Alquran dan sunah. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka
basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala
kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah:
6).
Allah juga berfirman, “Dan, pakaianmu
bersihkanlah.” (Al-Mudatstsir: 4).
Rasulullah bersabda: “Kunci shalat adalah
bersuci.” Dan sabdanya, “Shalat tanpa wudhu tidak diterima.” (HR
Muslim). Rasulullah SAW bersabda, “Kesucian adalah setengah iman.” (HR
Muslim).
Dalil tentang thaharah 3, yaitu:
a)
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 222
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Artinya: “Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri”.[12]
b)
Hadits Nabi SAW yang berbunyi:
لاَ يَقْبَلُ الله ُصَلاَة
ًبِغَيْرِ طَهُوْرًا. ( رواه المسلم)
Artinya: “Allah tidak menerima shalat seseorang yang tidak dalam
keadaan suci”. (HR. Muslim)
c)
Ijma’
Para ulama menjelaskan bahwa ayat-ayat
dan hadits di
atas memberi
penegasan bahwa thaharah (bersuci) wajib hukumnya, tidak saja karena orang
muslim akan mendirikan shalat melainkan juga wajib dalam semua keadaan,
terutama bersuci dari najis dan hadats besar.
2. Landasan
Hukum Wudhu
Perintah
wudhu diwajibkan kepada orang yang akan melaksanakan shalat salah satu syarat
sahnya shalat. Adapun disyari’atkannya wudhu ditegaskan
berdasarkan 3 macam alasan:[13]
a)
Firman Allah dalam surat Al-Maidah: 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ…
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
b)
Hadits
Nabi SAW yang berbunyi:
لا
يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتّى يتوضّأ
Artinya: ” Allah tidak menerima shalat salah
seorang di antaramu bila ia berhadats, sehingga ia berwudhu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
c)
Ijma’
Menurut
ijma’ ulama berpendapat bahwa wudhu hukumnya wajib bagi Muslim yang sudah
dewasa dan berakal, telah masuk waktu shalat atau ketika akan melaksanakan
suatu perbuatan yang disyaria’tkan wudhu terlebih dahulu.[14]
3. Landasan
Tayamum
Dalil disyariatkannya
tayamum ada 3, yaitu:
a)
Firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43:
…وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ
أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا
مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya:
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
b)
Hadits
Nabi SAW dari Abu Hurairah r.a berkata:
Artinya:
“Rasulullah SAW bersabda, “seluruh bumi dijadikan bagiku dan bagi umatku
sebagai mesjid dan alat bersuci, maka dimana juga shalat itu ditemui salah
seorang di antaramu, disisinya terdapat-terdapat alat untuk bersuci.” (HR.
Ahmad)
c)
Ijma’
Ijma’ ulama membolehkan tayamum, tetapi khusus bagi orang sakit dan
Musafir yang ktiadaan air. Namun mereka berselisih dalam persoalan, yaitu:
1)
Orang
sakit yang khawatir terhadap pnggunaan air pada penyakitnya,
2)
Keadaan
normal yang tidak menemukan air,
3)
Musafir
yang sangat yang menghemat atau memerlukan air bawaanya, dan
4)
Orang
yang khawatir terhadap kesehatannya dengan menggunakan air yang sangat dingin.
Jumhur ulama berpendapat bahwa keempat golongan tersebut boleh
bertayamum, sedangkan Atha’ tidak membolehkan tayamum baik orang sakit maupun
sehat jikamenemukan air.sementara itu, mahzab Syafi’i dan Maliki membolehkan
tayamum bagi orang yang bukan berada dalam perjalanan dan tidak sakit.[15]
2.3 Pembagian
Thaharah, Wudhu dan Tayamum
1. Pembagian
Thaharah
Kita bisa
membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang besar, yaitu:
a)
Thaharah Hakiki
Thaharah
secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan,
pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah secara
hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis.
Seorang
yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak
sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki. Thaharah
secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel, baik pada
badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual. Caranya
bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup
dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis
itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila
najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa,
hingga hilang warna najisnya. Dan juga hilang bau najisnya. Dan juga hilang
rasa najisnya.
b)
Thaharah Hukmi
Sedangkan thaharah secara hukmi
maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats
besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara fisik.
Bahkan boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran pada diri kita. Namun tidak
adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang bersih
secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual.
Seorang yang tertidur batal wudhu’nya,
boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib
berthaharah ulang dengan cara berwudhu’ bila ingin melakukan ibadah ritual
tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya. Demikian pula dengan orang yang
keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti
bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar
hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi thaharah secara hukmi adalah
kesucian secara ritual, dimana secara fisik memang tidak ada kotoran yang
menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah.
Thaharah secara hukmi dilakukan dengan berwudhu’ atau mandi janabah.[16]
2. Pembagian,
Syarat, Rukun & Yang Membatalkan Wudhu
A.
Pembagian Wudhu:
- Wajib, sebagai syarat sahnya
shalat, sujud tilawah, thawaf, dan menyentuh mushaf.
- Sunnah,
ketika akan melakukan segala amal kebaikan (berdzikir, tidur, melakukan
hubungan suami istri, setelah berbuat kemaksiatan, marah, membaca
Al-Qur'an, memandikan jenazah dsb)
- Makruh,
jika wudhu yang sudah dilaksanakan belum digunakan untuk beribadah
sehingga makruh jika mengulangi wudhu.
- Haram,
jika berwudhu dengan air hasil ghoshob, atau hasil mencuri dan semisalnya.[17]
B.
Syarat-syarat Wudhu
1.
Islam,
2.
Mumayiz (dapat mmbdakan mana nilai-nilai yang
baik dan buruk atau sudah berakal),
3.
Airnya suci,
4.
Tidak ada halangan dari agama seperti haid atau
nifas.
C.
Rukun
(Fardu) Wudhu’
1. Niat,
2. Membasuh muka,
3. Membasuh kedua tangan sampai kedua
siku,
4. Mengusap sebagian kepala,
5. Membasuh kaki sampai mata kaki,
6. Menertibkan rukun-rukun di atas.
D.
Yang Membatalkan Wudhu’
1. Sesuatu yang keluar dari qubul atau
dubur,
2. Tidur nyenyak shingga pinggul tidak
tetap lagi di atas lantai,
3. Hilang akal karena mabuk, gila dan
pingsan yang disebabkan obat-obatan atau sakit,
4. Bersentuh kulit laki-laki dengan
perempuan yang bukan muhrimnya dan tanpa lapis,
5. Menyentuh kemaluan tanpa alas.
3.
Syarat, Rukun dan Yang Membatalkan
Tayamum
A. Syarat-Syarat Tayamum:
1. Adanya halangan seperti tidak mendapatkan
air, sakit dan lain-lain,
2. Sudah masuk waktu shalat, tetapi
tidak mendapatkan air,
3. Debu yang dipergunakan untuk tayamum
harus suci.
B. Rukun (Fardu) Tayamum:
1. Niat untuk melaksanakan shalat
2. Mengusap muka
3. Mengusap dua tangan sampai siku
4. Tertib
C. Yang Membatalkan Tayamum:
1. Segala sesuatu yang membatalkan
wudhu’,
2. Menemukan air jika tayamum
disebabkan ketiadaan air,
3. Riddah, keluar dari agama Islam.[18]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
dari uraian materi di atas yang telah diungkapkan pada halaman
sebelumnya, maka dapat disimpulkan :
1.
Bersuci merupakan persyaratan dari beberapa
macam ibadah, karena itu bersuci memperoleh tempat yang utama dalam ajaran
Islam. Berbagai aturan dan hukum ditetapkan oleh syara’ dengan maksud antara
lain agar manusia menjadi suci dan bersih baik lahir maupun batin.
2.
Bersuci juga sangat ditekankan dalam Islam, baik dari hadats
kecil, hadats besar, atau najis yang datangnya dari luar tubuh. Islam telah
mengatur hal ini dengan sebaik-baiknya, karena bersuci adalah kegiatan awal
yang harus dilakukan sebelum melakukan ibadah.
3.
Cara mensucikan hadats kecil adalah dengan berwudhu atau
tayammum jika memang tidak menemukan air. Sedangkan mensucikan hadats besar
adalah dengan mandi, namun jika seorang yang junub tidak menemukan air, boleh
baginya untuk bertayammum seperti halnya berwudhu.
4.
Wudhu
adalah membasuh bagian tertentu yang boleh ditetapkan dari anggota badan dengan
air sebagai persiapan bagi seorang Muslim untuk menghadap Allah SWT (mendirikan
shalat) dan suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan sebelum seseorang
mengerjakan shalat.
5.
Tayamum adalah mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan
dengan niat untuk mendirikan shalat atau lainnya.
3.2 Saran
Pemakalah
menyarankan bagi pembaca agar dapat memahami pengertian
thaharah, wudhu dan tayamum,
landasan hukum thaharah, wudhu dan tayamum,
serta pembagian thaharah,
wudhu dan tayamum. Bagi pembaca dan mahasiswa lain yang ingin
mengetahui dan memahami lebih dalam lagi mengenai materi ini, maka dapat
menjadikan makalah ini sebagai referensi. Pemakalah juga mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Buku
Departemen
Agama RI.2009. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Diponegoro.
Hafsah. 2011. Fiqh. Bandung:
Citapustaka Media Perintis.
Mz, Labib. 2005. Terj.
Hadits Pilihan Shahih Bukhari. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Rifa’i, Moh. 1978. Fiqih Islam
Lengkap. Semarang: CV. Toha Putra.
Rusyd, Ahmad Ibn.tt. Bidayah al-Mujtahid. Indonesia: Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyat.
Sabiq, Sayid. 1995. Fiqh Al-Sun.
Beirut: Dar al-Fikr.
Sinaga, Ali Imran. 2011. FIKIH. Bandung: Citapustaka Media
Perintis.
Tim Penyusun Fak. Tarbiyah. 2012. Buku Ajar Praktik
Ibadah. IAIN SU.
Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam. Ringkasan Syarah
Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh
Hafizhohulloh. Staf Pengajar
Ma’had Ihyaus Sunnah. Tasikmalaya.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. 2012. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
2.
Internet
http://tigalandasanutama.wordpress.com/2011/12/13/bab-thaharah-bersuci-wudhu-dasar-hukum-dan-keutamaannya/
http://vitaguspurnomo.blogspot.com/2012/03/wudhu.html
[1] Moh. Rifa’i, Fiqih
Islam Lengkap (Semarang: CV. Toha Putra, 1978), h.46.
[3] Hafsah, Fiqh
(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 1.
[4] Tim Penyusun
Fak. Tarbiyah, Buku Ajar Praktik Ibadah (IAIN SU, 2012), h. 17.
[5] Ustadz Abu Isa
Abdulloh bin Salam, Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu
Syaikh Hafizhohulloh (Staf Pengajar
Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya), Hadits ke-23.
[6] Hafsah, h. 26.
[7] Syaikh Kamil
Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), h.
40
[8] Moh. Rifa’i,
h. 63.
[9] Syaikh Kamil
Muhammad Uwaidah, h.102.
[10] Tim Penyusun
Fak. Tarbiyah, h. 37.
[11] Moh. Rifa’i,
h. 70.
[12] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Penerbit , 2009), h.27.
[14] Sayid Sabiq, Fiqh
Al-Sun (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h. 29.
[15] Ahmad ibn
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyat,
tt), h. 47-48.
[17] http://vitaguspurnomo.blogspot.com/2012/03/wudhu.html
[18]Ali Imran
Sinaga, FIKIH (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 34-36.
makasih banyak min, lengkap banget dah informasinya
BalasHapus