BAB I
PENDAHULUAN
Dasar-dasar akidah islam telah
dijelaskan Nabi Muhammad saw. melalui pewahyuan Al-qur’an dan kumpulan sabdanya
untuk umat manusia generasi muslim awal binaan Rasullullah saw. telah meyakini
dan menghayati akidah ini meski belum diformulasikan sebagai suatu ilmu
lantaran lantaran rumusan tersebut belum diperlukan.
Pada periode selanjutnya, persoalan akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam Tuhan (Al-qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Pada periode selanjutnya, persoalan akidah secara ilmiah dirumuskan oleh sarjana muslim yang dikenal dengan dengan nama mutakallimun, hasil rumusan mutakallimun itu disebut kalam, secara harfiah disebut sabda Tuhan ilmu kalam berarti pembahasan tentang kalam Tuhan (Al-qur’an) jika kalam diartikan dengan kata manusia itu lantaran manusia sering bersilat lidah dan berdebat dengan kata-kata untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Persoalan kalam lainnya yang menjadi
bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan
dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama
kalam mengenai iman.
Sehubungan dengan itu, ada beberapa masalah
yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan Tuhan terhadap manusia yang menjadi
bahan bahasan dan diskusi di kalangan mutakallimin. Dan yang terpenting
diantaranya adalah lima poin masalah sebagai berikut; pertama, apakah Tuhan
memiliki kewajiban terhadap manusia? Kedua, apakah Tuhan berkewajiban melakukan
yang baik dan bahkan yang terbaik bagi kepentingan manusia? Ketiga, apakah
layak Tuhan memberikan beban (taklif) diluar kemampuan manusia? Keempat, apakah
pengiriman Rasul-Rasul adalah perkara yang wajib dilakukan Tuhan untuk
kepentingan manusia? Dan kelima, apakah Tuhan berkewajiban menepati janji
(wa’ad) dan menjalankan ancamannya (wa’id) terhadap manusia?
Dalam
makalah ini akan dijelaskan perincian dari setiap masalah-masalah tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
Sesungguhnya
segala sesuatu yang wujud di alam raya ini selain wujudnya Allah adalah karena
perbuatan (af’al) Allah dan pancaran dari keadilan-Nya yang sangat baik, paling
sempurna, dan adil. Dia maha bijaksana dalam segala perbuatan-Nya, mahaadil
dalam segala keputusan-Nya dengan keadilan yang tidak bisa diukur dengan
keadilan hamba, karena keadilan seseorang hamba hanya bisa ditemukan unsur
kezaliman, dengan menggunakan hak milik orang lain untuk kepentinan dirinya.
Sementara itu tidak mungkin bisa di temukan suatu kezaliman bagi Allah, karena
tidak mungkin akan berbenturan dengan kepentingan atau milik orang lain
sehingga terjadi intervensi terhadap hak milik orang lain yang mengakibatkan
tindakan zalim.
A.
PENGERTIAN
PERBUATAN TUHAN
Perbuatan Allah ( افعال الله) ialah setiap kejadian
yang berlaku di alam ini
dengan kehendak dan iradah Allah SWT. Contohnya ialah kejadian siang dan malam,
bencana alam, pasang surut lautan dan lain-lain adalah di bawah kekuasaan Allah.
Firman Allah SWT:
ÏQr& (#ÿrä‹sƒªB$# ZpygÏ9#uä z`ÏiB ÇÚö‘F{$# öNèd tbrçŽÅ³YムÇËÊÈ
“Adakah benda-benda dari bumi Yang mereka
jadikan Tuhan-Tuhan itu, dapat menghidupkan semula sesuatu Yang mati?”
Berdasarkan
ayat diatas, semua ciptaan Allah mempunyai hikmah dan rahasia yang tertentu.
Orang yang menggunakan akal fikiran akan dapat mengungkap rahasia ciptaan Allah
itu.
B.
MENGETAHUI
PERBUATAN – PERBUATAN ALLAH SWT.
Pengetahuan
tentang hal ini mencakup sepuluh prinsip dasar :
Prinsip dasar pertama : mengetahui
segala yang ada di alam raya ini adlah perbuatan Allah, ciptaan dan kreasi-Nya.
Tidak ada pencipta selain Dia. Dia yang mewujudkan dan menciptakan makhluk, Dia
pula yang menciptakan kemampuan dan aktivitas mereka. Maka semua perbuatan
hamba adalah ciptaan dan makhluk-Nya yang berkaitan dengan kekuasaan-Nya,
sesuai dengan firman-Nya dalam Qs. Az-zumar : 62.
Prinsip dasar kedua : sesungguhnya
kemandirian Allah swt dalam menciptakan gerakan-gerakan hamba adalah tidak
berarti mengisolirnya dari kenyataan bahwa gerakan-gerakan tersebut
“dikuasakan” kepada hamba dengan cara “berusaha” (ikhtisab), bahkan Allah swt
menciptakan “kekuasaan” (qudrat) dan yang dikuasakan, menciptakan usaha dan
yang diusahakan secara keseluruhan.
Prinsip dasar ketiga : bahwa
perbuatan hamba, meskipun itu merupakan usaha (ikhtisab) yang dilakukan oleh
hamba, namun itu tidak berarti keluar dari apa yang dikehendaki oleh Allah
swt.tidak ada yang mampu menolak ketentuan-Nya, tidak ada yang berhak menuntut
keputusan hukum-Nya, Dia berhak menyesatkan orang yang dikehendaki dan memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki pula.
Prinsip dasar keempat : sesungguhnya
ciptaan dan kreasi Allah swt terhadap makluk-Nya hanyalah semata karena
kemuliaan-Nya. Pemberian tugas kepada hamba hanya semata karena anugrah-Nya.
Prinsip dasar kelima: Allah swt
berhak membebani makhluk-Nya dengan beban yang di luar batas kemampuan mereka.
Ini berbeda dengan pandangan mu’tazilah. Seandainya Dia tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan hal itu tentu mustahil Allah mengajari hamba-Nya
agar meminta tidak dibebani di luar batas kemampuan mereka.
Prinsip dasar keenam : allah swt
berhak mencela dan menyudutkan makhluk-Nya dengan tanpa da alasan dosa yang
dilakukan sebelumnya dan pahala yang akan diberikan.
Prinsip dasar ketujuh : Allah swt
berhak untuk berbuat apa saja terhadap hamba-Nya, maka Dia tidak wajib
memperhatikan yang baik atau yang terbaik bagi hamba-Nya, sebab seperti yang
telah disebutkan, tidak ada sesuatu yang wajib dilakukan oleh Allah. Bahkan
tidak masuk akal kalau Dia dikenai kewajiban. (QS. AL-ANBIYA’ : 23).
Prinsip dasar kedelapan : bahwa
kewajiban untuk mengetahui Allah swt dan menaati-Nya adalah wajib karena
diwajibkan oleh Allah swt melalui syari’at-Nya bukan sekedar karena tuntutan
akal.
Prinsip dasar kesembilan :Allah
mengutus para Nabi as bukanlah sesuatu yang mustahil. Kebutuhan ummat manusia
kepada para Nabi adalah seperti kebutuhan mereka kepada para dokter. Akan
tetapi kebenaran seorang dokter diuji melalui ekperimen-ekperimen, sementara
kebenaran seorang Nabi dibuktikan melalui mukjizat.
Prinsip dasar kesepuluh : Allah swt
telah mengutus Muhammad saw sebagai penutup para nabi dan bertugas menyalin
syari’at syari’at sebelumnya yaitu syari’at yahudi, nasrani, dan shabai. Allah
swt memperkuat kenabian Muhammad saw dengan mukjizat yang jelas dan ayat-ayat
yang terang.[1]
C. PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN ILMU KALAM TERHADAP
PERBUATAN ALLAH
1. Aliran
Mu’tazilah
Aliran
Mu’tazilah, sebuah aliran kalam yang bercorak rasional, mereka berpandangan
bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun,
ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk.[2] Tuhan
tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbuatan
buruk itu.
Di
dalam Al-Quran pun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah zhalim. Ayat-ayat
Al-Quran yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya di atas
adalah surat Al-Anbiya’ ayat 23 yang berbunyi:
“Ia tidak boleh ditanya tentang apa yang ia
lakukan, sedang merekalah yang akan ditanya kelak”.
Dan
surat Ar-Rum ayat 8 yang berbunyi:
“Patutkah mereka merasa cukup Dengan mengetahui
Yang demikian sahaja, dan tidak memikirkan Dalam hati mereka, (supaya mereka
dapat mengetahui), Bahawa Allah tidak menciptakan langit dan bumi serta Segala
Yang ada di antara keduanya itu melainkan Dengan ada gunanya Yang sebenar, dan
Dengan ada masa penghujungnya Yang tertentu, (juga untuk kembali menemui
Penciptanya)? dan sebenarnya banyak di antara manusia, orang-orang Yang sungguh
ingkar akan pertemuan Dengan Tuhannya”.
Berdasarkan ayat yang telah dikemukakan diatas, seorang tokoh Mu’tazilah yang
bernama Qadi Abd Al-Jabar menyebutkan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk
bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Mahasuci dari perbuatan buruk. Dengan
demikian, Tuhan tidak perlu sitanya. Ia menambahkan kenyataannya bahwa
seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu
ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu?. Manakala ayat yang kedua
pula, menurut Al-Jabbar, mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak
akan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Ia menciptakan langit dan bumi
serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita
bohong.
Selain itu kelompok Mu’tazilah juga berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban
terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban tersebut dapat disimpulkan dalam satu
hal, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia. Kelompok Mu’tazilah
mengonsekuensikan tentang faham kewajiban Allah sebagai berikut:
a.
Kewajiban Tidak
Memberikan Beban di Luar Kemampuan Manusia.
Memberikan beban di luar kemampuan manusia
(taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan paham berbuat baik dan terbaik.
Hal ini bertentangan dengan paham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan
bersifat tidak adil kalau ia memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.
b.
Pengiriman Rasul-Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan
kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman Rasul tidaklah
begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman Rasul kepada umat manusia
menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang
tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan
dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat baik dan terbaik
bagi manusia dengan mengirimkan Rasul. Tanpa Rasul, manusia tidak akan
memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c.
Kewajiban
Menepati Janji dan Ancaman.
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari
lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya
dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika
tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, dan
menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat.
Prinsip janji dan ancaman yang dipegang oleh
kaum mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat
merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya. Disinilah peranan janji dan
ancaman bagi manusia agar tidak terlalu terlena menjalankan kehidupannya.
Ajarannya
adalah :
1.
Orang mukmin yang berdosa besar lalu mati
sebelum tobat ia tidak akan mendapat ampunan Tuhan.
2.
Di akhirat tidak akan ada syafaat sebab syafaat
berlawanan dengan al-wa’du wal wa’id.
3.
Tuhan akan membalas kebaikan manusia yang telah
berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan
kejahatan.[3]
2. Aliran
Asy’ariyah
Bagi
kaum Asy’ariah ini, Tuhan berkuasa dan berkehendak mutlak dan Tuhan memang
tidak terikat kepada apa pun, tidak terikat kepada janji-janji, kepada
norma-norma keadilan dan sebagainya.[4] Selain
itu bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam
arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu.
Dalam
pada itu pula menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan
terbaik bagi manusia, sebagaimana yang telah dinyatakan aliran Mu’tazilah,
tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan yang mereka anut. Dengan demikian, aliran Asy’ariyah tidak
menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Al-Ghazali ada menyatakan,
perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satu pun
daripadanya yang mempunyai sifat wajib.
Karena
percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban apa-apapun. Disamping itu, aliran Asy’ariah menolak kewajiban Tuhan
dalam pengiriman Rasul. Hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan
tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia.
Aliran Asy’ariyah juga berargumen Tuhan tidak
mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut
Al-Qur’an dan Hadis. Di sini timbul persoalan bagi Asy’ariyah karena dalam
Al-Quran dikatakan dengan tegas bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk
neraka. Untuk mencegah kata-kata Arab “man, alladzina” dan sebagainya
yang mengambarkan arti siapa, diberi Interpretasi oleh As-Asy’ari, “bukan
semua orang tetapi sebagian”. Dengan demikian kata siapa dalam ayat
“Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka ia
sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya”, mengandung arti bukan
seluruh, tetapi sebagian orang yang berbuat demikian. Adapun yang sebagian lagi
akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuatan dan kehendak mutlak Tuhan.
Dengan interpretasi demikianlah, Al-Asy’ari mengatasi persoalan wajibnya Tuhan
menepati janji dan menjalankan ancaman.
Al-asy’ari berpendapat
bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan
orang, baik ke surga ataupun neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan,
sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-galanya adalah milik Allah. Jika Tuhan
memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, bukan berarti ia tidak adil.
Sebaliknya jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka, bukan berarti
ia zhalim. Tuhan adalah penguasa mutlak dan tidak ada yang lebih kuasa. Ia
dapat dan boleh melakukan apa saja yang dikehendakinya.[5]
3. Aliran
Maturidiyah
Kaum
mu’tazilah, sebagaimana diketahui menganut paham bahwa Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban Tuhan itu pada
dasarnya berorientasi kepada keharusannya untuk berbuat apa yang baik bahkan
apa yang terbaik bagi manusia.[6]
Dalam
memahami konsep perbuatan Allah ini, terdapat 2 perbedaan pendapat antara Maturidiyah
Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand,
yang juga memberikan batas kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpandangan
bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Maka dengan
demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan hal yang baik bagi manusia. Oleh
itu, pengiriman Rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun
Maturidiyah Bukhara memiliki pendapat yang sama dengan kelompok
Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun,
sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, Tuhan pasti menepat janji-nya, seperti
member ganjaran kepada orang yang melakukan kebaikan, walaupun Tuhan mungkin
saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Manakala pendapat yang
dikemukakan oleh golongan Maturdiyah Bukhara tentang pengiriman Rasul, sesuai
dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah
bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Aliran
Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan,
sekurang-kurangnya kewajiban menpati janji tentang pemberian balasan dan
pemberian hukuman.
Adapun
dalam hal memberatkan beban kepada manusia di luar batas kemampuannya, yang
menerima konsep ini adalah kelompok Maturidiyah Bukhara menerimanya.
Tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tidak bisa dipikul atas
diri manusia kata Al-Bazdawi. Sebaliknya golongan Samarkand mengambil
posisi yang hampir dengan Mu’tazilah.
Manakala
mengenai pengiriman Rasul, aliran Maturidiyah kalangan Bukhara,
bersesuaian dengan faham mereka yang sama dengan aliran Asy’ariyah.
Pengiriman Rasul menurut mereka, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat
mungkin sahaja. Adapun golongan Samarkand berpendapat tentang persoalan
ini, mereka sefaham dengan Mu’tazilah mengenai wajibnya pengiriman Rasul
yang telah dinyatakan oleh Al-Bayadi.
Mengenai
kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancaman-nya, golongan Maturidiyah Bukhara
tidak sefaham dengan aliran Asy’ariyah. Menurut mereka, sebagaiman yang dijelaskan
oleh Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi ganjaran
kepada orang yang melakukan perbuatan baik. Tetapi, bisa saja Tuhan membatalkan
ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.
Adapun
menurut golongan Maturidiyah Bukhara, Tuhan tidak mungkin mengkhianati
janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Manakala golongan Maturidiyah
Samarkand mempunyai pendapat yang sama dengan aliran Mu’tazilah
bahwa upah dan hukuman Tuhan pasti terjadi kelak.
Walaupun
berbeda, Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand tetap
sepakat bahwa perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam
penciptaannya maupun dalam perintah dan larangannya.[7]
BAB III
SIMPULAN
Perbuatan
Allah ialah setiap kejadian yang berlaku di alam ini dengan kehendak dan iradah Allah SWT.
Contohnya ialah kejadian siang dan malam, bencana alam, pasang surut lautan dan
lain-lain adalah di bawah kekuasaan Allah.
Perbandingan antara aliran ilmu kalam terhadap
perbuatan Allah:
1.
ALIRAN
MU’TAZILAH
a.
Kewajiban tidak memberikan beban di luar
kemampuan manusia.
Mu’tazilah mengatakan ini karena bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan, Tuhan akan bersifat tidak adil kalau ia memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.
Mu’tazilah mengatakan ini karena bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan, Tuhan akan bersifat tidak adil kalau ia memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.
b.
Kewajiban Mengirimkan Rasul.
Mu’tazilah mengatakan tanpa Rasul, manusia
tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c.
Kewajiban Menepati Janji (Al-Wa’d) dan Ancaman
(Al-Wa’id).
Janji
dan ancaman merupakan dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah.
Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman
bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia, oleh karena itu menepati
janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
2.
ALIRAN
ASY’ARIYAH
Mereka mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban seperti yang dikatakan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Tuhan
dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk. Seperti yang dikatakan
Al-Ghazali, perbuatan-perbutaan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak
satupun darinya mempunyai sifat wajib.
3.
ALIRAN
MATURIDIYAH
Ada dua
pandangan yaitu :
a.
Maturidiyah Samarkand mengatakan bahwa
Perbuatan Tuhan hanyalah mengangkut hal-hal yang baik saja, demikian juga
pengiriman Rasul adalah kewajiban Tuhan.
b.
Maturidiyah Bukhara mengatakan bahwa Tuhan
tidak mempunyai kewajiban, namun mereka berkeyakinan seperti yang dijelaskan
oleh Badzawi Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberikan upah pahala
bagi yang berbuat baik dan sebaliknya, dan mengenai pengiriman Rasul bukan
merupakan kewajiban bagi Tuhan hanya bersifat mungkin saja.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad, Tauhid ilmu
kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Jumanatul Ali Alquran dan terjemahannya, Bandung: Jumanatul Ali Art, 2004
Karim, Muhammad Nazir, Dialektika
Teologi Islam, Bandung: Penerbit Nuansa, 2004
Rozak, Abdul, dan Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam, Pustaka Setia: Bandung, 20011
0 komentar:
Posting Komentar