BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Manusia yang lahir ke dunia ini memiliki tujuan dan fungsi.
Alam yang indah dan besar ini diciptakan oleh allah untuk dinikmati oleh
manusia. Apa yang ada baik itu hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Karena allah
ingin menjadikan manusia sebagai khilafah dan membawa amanah yang besar
dari-Nya.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah ini tidak
bisa dipungkiri akan adanya kesalahan dan kelalaian yang itu semua sudah
ketetapannya. Maka Allah swt dengan keterangan dan aturannya yang diajarkan dan
dibawakan oleh utusannya memberitahukan akan balasan yang kita terima setelah
kita melakukan sesuatu hal. Apa itu baik dan buruk tergantung sampai mana
petunjuk yang ia peroleh. Oleh sebab itu Allah swt memberikan kepada kita kebebasan
sekaligus tanggung jawab yang jelas dalam menjalani hidup ini. Sebab apabila
tanpa itu akan terjadi kekacauan dan kerusuhan setiap saatnya. Dan dalam
makalah ini akan dibahas sedikit mengenai kebebasan dan kewajiban dalam konsep Islam.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian kebebasan dan tanggung jawab dalam Islam?
2.
Apa bentuk dan konsep-konsep dari kebebasan dan tanggung
jawab dalamm Islam?
1.3 TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk mengetahui pengertian dari kebebasan dan tanggung
jawab dalam konsep Islam.
2.
Untuk mengetahui bentuk dan konsep-konsep kebebasan dan
tanggung jawab dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Konsep Kebebasan dan Tanggung Jawab dalam Islam
A. Kebebasan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kebebasan merupakan
kata dasar dari bebas yang artinya lepas sama sekali (tidak terhalang,
terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dng leluasa): lepas dr (kewajiban,
tuntutan, perasaan takut, dsb): tidak dikenakan (pajak, hukuman, dsb): tidak
terikat atau terbatas oleh aturan dsb: merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau
tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing): tidak terdapat
(didapati) lagi. Dan kebebasan adalah keadaan bebas: kemerdekaan[1]
Kebebasan menurut Ahad Charris Zubair adalah terjadi
apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak di batasi oleh suatu
paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain. Paham ini disebut bebas negatif, karena hanya dikatakan bebas dari
apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Seorang disebut bebas apabila:
1. Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuannya dan apa yang dilakukannya
2.
Dapat memilih antara
kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya, dan
3.
Tidak dipaksa atau terikat
untuk memuat sesuatu yang tidak akan dpilihnya sendiri ataupun dicegah dari
berbuat apa yang dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau
kekuasaan apapun.[2]
Kebebasan
manusia menurut Muhammad Iqbal diawali dengan konsep Ego dengan berpangkal pada
konsep intuisi. Bahwa adanya ego yang berpusat, bebas, dan imortal bisa
diketahui secara langsung lewat intuisi.
Meskipun demikian, intuisi ini hanya dapat berlangsung pada saat manusia
mengambil keputusan. kegiatan pengambil keputusan ini manusia “Aku” harus
memutuskannya, keputusan itu bukan karena intuisi agama menghendakinya, atau
rasionalitas yang menghendakinya, bahkan Tuhan sekalipun, melainkan aku yang
menghendakinya. Artinya kebebasan manusia dalam
menentukan sikap manusia secara pribadi itu mutlak.
Kebebasan
manusia menurut Muhammad Iqbal, terkait dengan bertitik tolak pada konsep ego.
Bahwa manusia merupakan kesatuan jiwa dan tubuh yang sering disebut dengan
“diri”, sedang identitas manusia ada pada individualitas yang mempunyai
kesadaran dan kebebasan.
Kebebasan
manusia menurut Muhammad Iqbal adalah kebebasan eksistensial. Kebebasan
eksistensial adalah kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh kepribadian
manusia. Kebebasan tersebut mencakup seluruh kehidupan manusia dan tidak
terbatas pada salah satu aspek tertentu saja. Dalam hal ini Muhammad Iqbal menjelaskan
“Unsur bimbingan dan pengawasan dalam aktifitas
ego dengan jelas memperlihatkan bahwa ego itu merupakan suatu kausalitas
pribadi yang bebas. Ia turut mengambil bagian dalam kehidupan dan kebebasan
Diri Mutlak yang dengan membolehkan munculnya diri yang berkesudahan yang
sanggup berprakarsa sendiri, telah membatasi kebebasan ini atas kemauan
bebas-Nya sendiri."
Dari penjelasan tersebut, tampak bahwa kebebasan manusia menurut Muhammad
Iqbal, tidak semata-mata bebas tanpa batas, justru dalam kebebasan manusia
tersebut terdapat ketidakbebasan, karena dalam kebebasan akan berhadapan dengan
situasi yang tidak dapat kita capai.[3]
Maka kesimpulan dari pengertian kebebasan adalah upaya dalam
melakukan sesuatu hal yang sesuai keinginan dan tidak mendatangkan keburukan.
Sebab kebebasan yang buruk itu tidak bisa dibenarkan.
B.
Tanggung jawab
Pengertian tanggung jawab
dalam kamus bahasa indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.[4]
Jadi segala perbuatan yang dilakukan harus diperhitungkan dan memiliki dampak,
baik itu positif maupun negatif.
Tanggung
jawab adalah bagian dari ajaran Islam yang disebut mas'uliyyah. Tanggung jawab
artinya ialah bahwa setiap manusia apapun statusnya pertama harus bertanya
kepada dirinya sendiri apa yang mendorongnya dalam berperilaku, bertutur kata,
dan merencanakan sesuatu. Apakah perilaku itu berlandaskan akal sehat dan
ketakwaan, atau malah dipicu oleh pemujaan diri, hawa nafsu, dan ambisi
pribadi. Jika manusia dapat menentramkan hati nuraninya dan merespon panggilan
jiwanya yang paling dalam, maka dia pasti bisa bertanggungjawab kepada yang
lain.
Allah
SWT berfirman;
إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
"Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya." (QS.17.36)
Mata, telinga, kalbu semua ini adalah sarana yang telah
dianugerahkan Allah SWT dan kelak akan diminta pertanggungjawabannya. Kita
semua harus bertanggungjawab atas apa yang telah kita lihat dengan mata kita;
apakah kita melihat? Apakah kita cermat? Apakah kita ingin untuk melihat?
Apakah kita ingin untuk mendengar? Apakah kita berniat mengambil keputusan dan
mengimplementasikannya? Semua ini adalah tanggung jawab. [5]
Rasulullah
SAW bersabda;
كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Kamu
semua adalah pemelihara, dan setiap kamu bertanggungjawab atas
peliharaannya."
Pada prinsipnya tanggungjawab
dalam Islam itu berdasarkan atas perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan
dalam beberapa ayat seperti ayat 164 surat Al An’am
وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
Artinya:
“Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan
kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain.”
Dalam surat Al Mudatstsir ayat 38 dinyatakan;
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا
كَسَبَتْ رَهِينَة
Artinya:
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang
telahdiperbuatnya”
Akan tetapi perbuatan individu itu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh pada orang lain.”
Akan tetapi perbuatan individu itu merupakan suatu gerakan yang dilakukan seorang pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bisa meninggalkan bekas atau pengaruh pada orang lain.”
2.2 Konsep-Konsep Serta Bentuk Kebebasan dan Tanggung Jawab
dalam Pemikiran Islam
a. Konsep Kebebasan dalam Pemikiran Islam
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ
فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا
أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ
يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
Artinya:
“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya
dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." Sesungguhnya
Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi
minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah
minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”. (QS.18:29)
إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي آيَاتِنَا لَا
يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا أَفَمَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ خَيْرٌ أَمْ مَنْ يَأْتِي
آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka
tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam
neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada
hari Kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan.
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ
مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya:
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada
peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya
(kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri."
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Dalam soal kebebasan manusia, terdapat dua
paham radikal yang saling bertentangan, yakni Qodariyyah dan Jabariyyah.
Istilah Qodariyyah berasal dari kata Qodar yang berarti ketetapan,
hukum, ketentuan, ukuran, dan kekuatan; juga berarti apa yang
dikehendaki Allah atas hamba-Nya dan ketergantungan kepada sesuatu pada
waktunya. Namun, istilah qodar juga berarti ketergantungan perbuatan
hamba pada kekuatannya sendiri. Karena itu, Mu’tazilah dianggap berpaham
Qodariyyah karena mereka berkeyakinan bahwa setiap orang adalah pelaku bagi
perbuatannya sendiri. Namun, al-Syahrastani berpendapat bahwa Mu’tazilah
sendiri menolak sebutan Qodariyyah yang disandarkan kepada mereka. Mereka
menganggap bahwa sebutan itu cocok bagi mereka yang percaya pada qodar
(takdir) Allah. Maka, kemungkinan besar bahwa istilah qodariyyah itu diberikan
oleh lawan-lawannya, misalnya al-Asy’ari memakai istilah itu untuk menyebut
kaum Mu’tazilah.
Di sisi lain, Jabariyyah adalah paham yang
berpendapat bahwa manusia itu lemah dan bahwa setiap yang terjadi pada diri
manusia telah ditentukan oleh Allah sejak zaman azali. Jadi, manusia tidak
bebas untuk memilih untuk berbuat atau menghindar dari suatu perbuatan. Paham
Jabariyyah dibawa oleh Jahm ibn Shafwan yang berpendapat bahwa manusia tidak
punya daya dalam berikhtiar dalam perbuatannya sendiri.
Kaum Asy’ariyyah dengan corak jabariyyah
memandang manusia itu lemah dan karena itu manusia bergantung sepenuhnya
kepada kehendak Allah. Bagi Asy’ariyyah, Allah adalah pencipta segala
sesuatu, tak ada pencipta selain Dia. Dengan demikian, al-Asy’ari berpendapat
bahwa segenap perbuatan manusia adalah ciptaan Allah.
Mungkin demi menunjukan adanya tanggung jawab
manusia atas perbuatannya dan hak memperoleh balasan atas perbuatan itu,
al-Asy’ari memakai istiulah al-kasb yang biasa diartikan dengan usaha.
Al-Ghazali juga berpandapat bahwa Allahlah yang
menciptakan daya sekaligus perbuatan manusia. Karena itu, ia menilai bahwa
paham Qodariyyah yang dianut Mu’tazilah bertentangan dengan keyakinan yang
dianut secara umum tentang tidak ada pencipta selain Allah.
Al-Jubba’i berpendapat bahwa perbuatan manusia
adalah ciptaan manusia sendiri. Dengan kata lain, berbuat baik atau jahat dan
patuh serta ingkar kepada Allah terjadi atas kehendak manusia sendiri dengan
daya yang sudah ada dalam dirinya. Sejalan dengan itu, Abduljabbar mengatakan
bahwa perbuatan manusia bukan diciptakan langsung oleh Allah, tetapi manusia
sendirilah yang mewujudkannya. Dalam melakukan perbuatannya manusia memiliki
daya, dan dengan daya itulah manusia bebas berikhtiar dalam berbuat.
Dalam kaitan dengan keperluan kajian akhlak,
tampaknya pendapat yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan melakukan
perbuatannyalah yang akan diikuti disini. Sementara golongan yang
mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan juga akan diikuti di sini
dengan menempatkannya secara proporsional. Yakni dalam hal bagaimanakah manusia
itu bebas, dan dalam hal bagaimana pula manusia itu terbatas. Dengan cara
demikian kita mencoba berbuat adil terhadap kedua kelompok yang berbeda
pendapat itu.
Selain itu kebebasan itu meliputi segala macam
kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan demi
suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan itu
manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerima apa adanya. Misalnya
keterbatasan dalam menentukan jenis kelaminnya, keterbatasan kesukuan kita,
keterbatasan asal keturunan kita, bentuk tubuh kita, dan sebagainya. Namun
keterbatasan yang demikian itu sifatnya fisik, dan tidak membatasi kebebasan
yang bersifatnya rohaniah. Dengan demikaian keterbatasan-keterbatasan tersebut
tidak mengurangi kebebasan kita.
Ada enam macam konsep
kemerdekaan atau kebebasan dalam
Islam, yaitu:
1. Kemerdekaan Beragama
Al-Qur'an menegaskan bahwa tidak boleh
ada pemaksaan dalam beragama.
Nabi
SAW. Memperlakukan golongan dzimmi dengan menghormati keyakinannya. Sebagaimana sabda
beliau: "Bebaskan mereka bersama kepercayaannya, hak mereka sesuai dengan agamanya,
dan kewajiban mereka sesuai dengan agamanya demikian pula kita (mukmin)". Nabi
juga menyuruh para sahabat berdiri menghormati jenazah Yahudi yang sedang lewat, dan
waktu ada sahabat yang menyangkalnya, maka beliau menjawab: "Apapun agamanya,
dia adalah manusia".
2. Kemerdekaan dalam Berumahtangga
Islam memberikan hak penuh kepada semua
orang untuk kehidupan rumah tangganya.
Jangan sampai kebebasan itu diganggu orang lain. Al-Qur'an memerintahkan, setiap orang yang mau
masuk rumah orang lain, harus meminta izin terlebih dahulu. Sebagaimana sabda
Nabi: "Siapa yang melihat-lihat ke dalam rumah orang lain tanpa minta
izin, kemudian yang mempunyai rumah marah dan melukai matanya, maka dia tidak
dikenakan diyat (hukuman ganti rugi)".
Mengenai rumah tangga terdapat
prinsip-prinsip Islam dalam membina keluarga. Prinsip-prinsip Islam dalam
membina keluarga tergambar dalam beberapa Firman Allah. Oleh
karena perkawinan adalah satu sunnah dari beberapa sunnah yang bersifat natural yang
perlu untuk kekalnya jenis manusia, maka Allah menciptakan baik laki-laki maupun
perempuan yang masing-masing ingin berkumpul dan berdekatan satu sama lain.
3. Kemerdekaan Melindungi Diri
Islam menetapkan, bahwa setiap orang
mempunyai hak dan kebebasan melindungi
diri dari ancaman, termasuk juga melindungi keluarga dan hartanya. Sebagaimana Nabi
bersabda: "Barang siapa terbunuh karena mempertahankan harta miliknya, dia mati
syahid". Dalam hadits lain dinyatakan: "Punggung
(jiwa) setiap mukmin
dilindungi hukum, kecuali dalam kasus had dan hukuman".
4. Kemerdekaan Berfikir dan Berbicara
Mu'adz bin Jabal diberi hak menggunakan
pikirannya dalam mengatur tugasnya,
asal tidak bertentangan dengan nash al-Qur'an dan Sunnah. Nabi memberikan kesempatan kepada
seseorang yang menagih hutangnya kepada Nabi, dengan kata-kata yang agak keras,
meskipun sahabat-sahabatnya menegurnya, sebagimana beliau bersabda :
"Biarkan
itu adalah haknya".
5. Hak Memperoleh Pekerjaan dan Kebebasan
Memilki Hasil Kerjanya
Firman Allah dalam al-Qur'an yang
artinya: "Aktiflah dalam kegiatan dimana saja di atas bumi, dan
carilah rizki Tuhan (fadlollah)". Yang
mana pada intinya, manusia mempunyai
kebebasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari apa-apa yang ada di bumi. Hal tersebut juga
pernah dilakukan oleh Nabi dengan pernah mencarikan kapak dan tali untuk seorang yang
inigin bekerja mencari kayu bakar.
6. Kemerdekaan Berpolitik
Prinsip Islam menetapkan bahwa Kepala
Negara adalah dipilih melalui baiat para ahlul halli wal aqdi. Dan
rakyat memperoleh hak mengemukakan pendapat yang dirasa benar.
Sebagaimana sebuah hadits yang artinya: "Katakan yang benar, meskipun dihadapan penguasa yang
zalim" dan "Urusan mereka
dimusyawarahkan antara mereka".
Konsep kebebasan atau kemerdekaan (al-hurriyah)
adalah konsep yang memandang
semua manusia pada hakekatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan hamba sesama manusia.
Hal ini berimplikasi bahwa manusia dalam pandangan Islam mempunyai kemerdekaan
dalam segala hal yang berhubungan dengan kehidupannya. Sehingga setiap orang
memilki kebebasan baik dalam lingkup publik maupun dalam lingkup keluarga. Kebebasan
tersebut tidak bisa diganggu gugat baik oleh oleh hukum publik maupun hukum Islam sekalipun.
Namun kebebasan tersebut ada batasnya misalnya dalam hokum publik manusia bebas
untuk melakukan apa yang menjadi keinginannya, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh
kebebasan orang lain. Demikian juga dalam Islam manusia bebas melakukan sesuatu sejak
ia lahir, namun kebebasan tersebut dibatasi oleh kebalighan yang ia alami yang membuat dia
berkewajiban untuk melakukan segala peraturan yang ditentukan oleh syara'.[6]
b.
Bentuk kebebasan dalam Pemikiran Islam
Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan itu dapat
dibagi tiga.
Pertama kebebasan
jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakkan dan mempergunakan anggota badan
yang kita miliki. Dan kita dijumpai adanya batas-batas jangkauan yang dapat
dilakukan oleh anggota badan kita, hal itu tidak mengurangi kebebasan,
melainkan menentukan sifat dari kebebasan itu. Manusia misalnya berjenis
kelamin dan berkumis, tetapi tidak dapat terbang, semua itu tidak disebut
melanggar kebebasan jasmaniah kita, karena kemempuan terbang berada di luar
kapasitas kodrati yang dimiliki manusia. Yang dapat dikatakan melanggar
kebebasan jasmaniah hanyalah paksaan, yaitu pembatasan oleh seorang atau
lembaga masyarakat berdasarkan kekuatan jasmaniah yang ada padanya.
Kedua, kebebasan
kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Jangkauan
kebebasan kehendak adalah sejauh kemungkinan untuk berfikir, karena manusia
dapat memikirkan apa saja dan dapat menghendaki apa saja. Kebebasan kehendak
berada dengan kebebasan jasmaniah. Kebebasan kehendak tidak dapat secara
langsung dibatasi dari luar. Orang tidak dapat dipaksakan menghendaki sesuatu,
sekalipun jasmaniahnya dikurung.
Ketiga, kebebasan moral
dalam arti luas berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan dan
lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit
berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat
kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.
Kebebasan pada tahap selanjutnya mengandung
kemampuan khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menuntukan sendiri apa
yang mau dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas berarti
manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya.
Selanjutnya manusia dalam bertindak dipengaruhi
oleh lingkungan luar, tetapi dapat mengambil sikap dan menentukan dirinya
sendiri. Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar dan
dorongan-dorongannya di dalam, melainkan ia membuat diri sendiri berhdapan
dengan unsur-unsur tersebut. Dengan demikian kebebasan merupakan tanda dan
ungkapan martabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang tidak ditentukan
dan digerakkan, melainkan yang dapat menentukan dunianya dan dirinya sendiri.
Apa saja yang dilakukan atas kesadaran dan keputusannya sendiri dianggap hal
yang tidak wajar.[7]
c. Macam-Macam Tanggung
Jawab dalam Islam
1.
Tanggung Jawab Terhadap Diri Sendiri
Tanggung jawab terhadap diri sendiri berkaitan dengan
kewajiban yang mendasari pada diri sendiri. Manusia dalam hidup ini sangat
membutuhkan orang lain, dapat kita contohkan dari kebutuhan pangan, sesuai
dengan firman Allah dalam surat Al An’am ayat 142
وَمِنَ
الْأَنْعَامِ حَمُولَةً وَفَرْشًا كُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Dan di antara
hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk
disembelih. Makanlah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.”
2.
Tanggung Jawab Terhadap Keluarga
Keluarga merupakan bagian terpenting dalam kehidupan
seorang manusia, dengan adanya ia manusia dapat hidup tentram terarah. Keluarga
adalah bagian hidup manusia yang juga perlu dipertanggung jawabkan. Allah swt
berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 6
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.”
Makna dalil diatas, seseorang manusia harus mampu menjaga
keluarganya dari ancaman api neraka. Dengan begitu sungguh besar tanggung jawab
dari anggota keluarga itu.
3.
Tanggung Jawab Terhadap Masyarakat
Kehidupan seorang manusia akan terasa hampa jika tidak
ada orang lain yang dapat membantu, menolong dan menghibur. Antara individu
dengna individu lain hendaknya terjalin komunikasi dan hubungan kebutuhan.
Situasi dan kondisi seorang anggota msyarakat sangat
terkait dengan keadaan masyarkat tersebut. Tingkah laku dan perbuatan yang
membentuk jiwa para generasi muda dalam lingkungan masyarkat menjadi baik dan
buruk adalah terletak pada tanggung jawab dari individu masyarakat itu sendiri,
firman Allah swt dalam surat Ali Imran ayat 104.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.”
4. Tanggung Jawab
Terhadap Lingkungan
Pada hakikatnya suatu lingkungan yang aman, tentram dan
damai didukung oleh keadaan masyarakat dan jiwa individu yang ada dalam
masyarakat tersebut. Setiap individu harus sadar bahwa lingkungan sekitar harus
tetap dijaga kestabilannya. Dengan demikian memelihara lingkungan sekitarnya
menunjukkan adanya rasa tanggung jawab seseorang pada lingkungannya..
Dalam hal ini pengertian lingkungan bukan hanya
masyarakatnya saja tetepi semua unsur-unsur yang mencakup didalam lingkungan
itu. Dan Allah telah memelihara dan merawat lingkungan dan alam ini, namun
manusialah yang membuat itu semua rusak. Hal ini dalam dicantumkan al Quran surat
Ar Ruum ayat 14
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar).”
5.
Tanggung Jawab Terhadap Tuhan
Manusia adalah makhluk yang mulia dibandingkan dengan
makhluk ciptaan tuhan lainnya, dimana didudukkan manusia di muka bumi adalah
sebagai khalipah. Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 30.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي
الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ
مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
Makna dalil diatas menunjukkan bahwa keberadaan manusia
diangkat Allah sebagai khalipah diatas makhluk lainnya. Kendatipun demikian
manusia tidak lepas dari tanggung jawabnya kepada tuhan atas perbuatannya,
sebab kebesaran dak kekuasaan manusia masih dalam kekuasaan Allah.
d.
Prinsip Tanggung Jawab Dalam Islam
Prinsip tanggung jawab individu begitu
mendasar dalam ajaran-ajaran Islam sehingga ia ditekankan dalam banyak ayat Al-Qur’an dan dalam banyak
Hadits Nabi. Prinsip tanggung jawab individu ini disebut dalam banyak konteks
dan peristiwa dalam sumber-sumber Islam.
1.
Setiap orang
akan diadili sendiri-sendiri di Hari Kiamat kelak, dan bahkan ini pun akan
dialami oleh para nabi dan keluarga-keluarga yang paling mereka cintai
sekalipun. Tidak ada satu cara pun bagi seseorang untuk melenyapkan
perbuatan-perbuatan jahatnya kecuali dengan memohon ampunan Allah dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik (amal salih).
2.
Sama sekali tidak ada konsep Dosa Warisan,
(dan karena itu) tidak ada seorang pun bertanggung jawab atas
kesalahan-kesalahan orang lain, dan tidak pembaptisan dan juga tidak ada bangsa
pilihan (Tuhan).
3.
Setiap individu mempunyai hubungan langsung dengan Allah.
Tidak ada perantara sama sekali. Nabi SAW sendiri hanyalah seorang utusan
(Rasul) atau kendaraan untuk melewatkan petunjuk Allah yang diwahyukan untuk
kepentingan umat manusia. Ampunan harus diminta secara langsung dari Allah.Tidak
ada seorang pun memiliki otoritas sekecil apa pun untuk memberikan keputusannya
atas nama-Nya. Justru bertentangan dengan semangat ajaran Islam bila (orang)
mengemukakan “pengakuan dosa” kepada seseorang penjabat agama.
4.
Setiap individu mempunyai hak penuh untuk
berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) untuk
kepentingannya sendiri. Dia harus menggunakan hak ini, karena ia merupakan
landasan untuk melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah. Belajar adalah
proses rasional, dan ia tidak dapat diperoleh melalui praktek- praktek
spiritual atau meditasi. Mengajarkan agama adalah prosedur ilmiah yang tidak
berisi harapan agar dia (si pengajar) mendapatkan hak istimewa atau kekuasaan terhadap
orang yang diajarnya.
5.
Islam telah sempurna dengan berakhirnya wahyu yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW hingga saat wafatnya. Tidak ada seorang
pun dibenarkan menambah, mengurangi atau mengubahnya, walau hanya satu
pernyataan saja. Setiap pemahaman deduktif dari, penafsiran atau penerapan
suatu teks Al-Qur’an atau Sunnah hanyalah sekedar pemahaman perorangan yang
boleh jadi berbeda-beda, dan tidak ada seorang pun diantara mereka berhak
memaksakan berlakunya pemahamannya itu kepada orang lain.
Tanggung jawab Muslim yang sempurna ini
tentu saja didasarkan atas cakupan kebebasan yang luas, yang dimulai dari
kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang paling
tegas yang perlu diambilnya. Karena kebebasan itu merupakan kembaran dari tanggung jawab,
maka bila yang disebut belakangan itu semakin ditekankan berarti pada saat yang
sama yang disebut pertama pun mesti mendapatkan tekanan lebih besar.[8]
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Kebebasan merupakan hal yang telah dimiliki oleh manusia
apabila dalam konteks kepada manusia juga. Tetapi manusia dalam pandangan Allah
swt adalah makhluk dan hamba-Nya. Maka tidak boleh diantara kita saling
menghina atapun mengurusi ciptaan Allah ini. Meskipun kita memilkik kebebasan
bukan berarti kita bebas tanpa batas. Itu adalah sama halnya binatang yang
hanya menuruti hawa nafsunya saja. Manusia bukan seperti itu, ia diberikan akal
dan hati untuk memikirkan apa saja yang telah dilakukannya dan dibuatnya
sehingga menuntut mereka untuk bertanggung jawab atas semua itu.
Dari sekian banyaknya penjelasan maka kebebasan dan
tanggung jawab itu harus selaras dan seimbang di dalam kehidupan ini. Orang
yang memahami ini semua akan selamat dunia dan akhirat.
3.2 SARAN DAN
KRITIK
Penyusun menyadari akan kekurangan dan kesalahan masih
ada baik pada penulisan maupun isinya. Maka saran dan masukan berupa kritikan
dan tambahan sangat diperlukan dalam penulisan ini agar memperbaiki untuk masa
yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia : Edisi
Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka: 2007.
Hasan, M. Tholchah, Islam
dalam Perspektif Sosio Kultural Jakarta, Lantabora
Press: 2000.
http://www .khamenei.ir
- Makna Tanggung Jawab Dalam Islam.html
http://www.referensimakalah.com/2012/11/kebebasan-manusia-menurut-muhammad-iqbal.html
Rizal, Fahrul,
dkk, Humanika : Materi IAD, IBD, dan ISD, Jakarta , Hijri Pustaka Utama:
2009.
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia : Edisi
Ketiga,(Jakarta, Balai Pustaka: 2007)
Hal, 118-119.
[3]
http://www.referensimakalah.com/2012/11/kebebasan-manusia-menurut-muhammad-iqbal.html
[6] M. Tholchah Hasan, Islam
dalam Perspektif Sosio Kultural (Jakarta: Lantabora Press. 2000) hal 145-146
0 komentar:
Posting Komentar