BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan
kekurangan.Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia
menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama
yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga
akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah
hukum.. Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal
primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana
kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya
kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan.
Pertama, melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan
kepada/manusia, dan kedua dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang
diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan.
Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang
absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui akal diyakini
sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan pengujian terus
menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun Nasution, 1986: 1).
- Rumusan
Masalah
1.
Apakah pengertian akal dan wahyu?
2.
Apa landasan hukum akal dan wahyu?
3.
Bagaimana hubungan antara akal dan wahyu?
- Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini untuk menjelaskan bahwa akal dan
wahyu dalam kehidupan islam sangat penting akal dan wahyu
yang digunakan maqasid as-syari’ah atau maslahah yang
menekankan terjaminnya kebutuhan hidup manusia, dua di antaranya adalah
mewujudkan terjaganya al-‘aql (intellect), dan keyakinan (ad-din). Dalam
hal ini wahyu merupakan sumber pengetahuan yang didasarkan kepada
keimanan kepada Allah SWT.
- Manfaat
Penulisan
- Agar kita dapat dapat mengetahui
pengertian dari Akal dan wahyu.
- Agar dapat mengetaahui landasan hukum akal
dan wahyu.
- Agar dapat mengetahui hubungan akal dengan
wahyu.
BAB II
AKAL DAN WAHYU
A. Pengertian Akal Dan Wahyu
Akal berasal dari kata Arab (‘aqal).Dalam bahasa Indonesia orang
biasa menyalinnya dengan pikir atau pikiran.Jadi kejadian berakal, disalin
dengan berpikir.Menurut bahasa Arab, arti akal mula-mula “mengikat” (menahan)
dan “membedakan”.Dalam rangka ini orang menghubungkan, bahwa akal merupakan
tenaga yang menahan diri makhluk yang memilikinya dari pada perbuatan buruk
atau jahat, membedakannya dari makhluk-makhluk lain, karena tenaga akal itu
dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.Umumnya akal dimaknakan
sebagai alat untuk berpikir, menimbang buruk-baik atau merasakan segala
perubahan keadaan, sehingga dapat mengambil manfaat daripadanya.
Perkataan akal dalam bahasa asalnya mengandung pengertian diantaranya
mengikat dan menahan, ia juga mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir.
Para ahli filsafat dan ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan,
tenaga).Untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat
membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan benda
yang ditangkap oleh panca indera.
Kata wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab
dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan.Dan
ketika Al-Wahyu berbentuk masdar memiliki dua arti yaitu tersembunyi dan
cepat. oleh sebab itu wahyu sering disebut sebuah pemberitahuan tersembunyi dan
cepat kepada seseorang yang terpilih tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Sedangkan ketika berbentuk maf’ul wahyu Allah terhadap Nabi-Nya
ini sering disebut Kalam Allah yang diberikan kepada Nabi
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid
berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang di dapatkan oleh seseorang
dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datang dari Allah SWT,
baik melalui perantara maupun tanpa perantara. Baik menjelma seperti suara yang masuk dalam telinga ataupun
lainya.[1]
B. Landasan Hukum akal dan wahyu
Kedudukan Akal Dalam Syari'at Islam.Syari'at Islam memberikan nilai
dan urgensi yang amat penting dan tinggi terhadap akal manusia. Itu dapat
dilihat sebagai berikut:
- Allah subhanahu wa'ta'ala hanya
menyampaikan kalam-Nya (firman-Nya) kepada orang-orang yang berakal,
karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari'at-Nya.
Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan kami anugerahi dia (dengan
mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak
mereka pula sebagai rohmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai fikiran". (QS. Shaad (38): 43).
- Akal merupakan syarat yang harus ada dalam
diri manusia untuk mendapat taklif (beban kewajiban) dari Alloh subhanahu
wa'ta'ala. Hukum-hukum syari'at tidak berlaku bagi mereka yang tidak
mempunyai akal. Dan diantaranya yang tidak menerima taklif itu adalah
orang gila karena kehilangan akalnya.
Rosulullah bersabda:
"رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ وَمِنْهَا :
الجُنُوْنُ حَتَّى يَفِيْقَ"
"Pena (catatan pahala dan dosa)
diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan, diantaranya: orang gila samapai dia
kembali sadar (berakal)". (HR. Abu Daud: 472 dan Nasa'i: 6/156).
- Allah subhanahu wa'ta'ala mencela orang
yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah subhanahu wa'ta'ala
terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya:
Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan mereka berkata:
"Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya
tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala". (QS. 067. Al Mulk [67]: 10)
Dan Allah subhanahu wa'ta'ala mencela orang-orang yang tidak
mengikuti syari'at dan petunjuk Nabi-Nya. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan
kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka
menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati
dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti
juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan
tidak mendapat petunjuk?". (QS. 002. Al Baqarah [2]: 170).
4. Penyebutan begitu banyak proses dan aktivitas kepemikiran dalam
Al-Qur'an, seperti tadabbur, tafakkur, ta'aquul dan lainnya. Seperti kalimat
"La'allakum tafakkarun" (mudah-mudahan kalian berfikir) atau
"Afalaa Ta'qiluun" (apakah kalian tidak berakal), atau "Afalaa
Yatadabbarunal Qur'an" (apakah mereka tidak merenungi isi kandungan
Al-Qur'an) dan lainnya.
5. Al-Qur'an banyak menggunakan penalaran rasional. Misalnya
ayat-ayat berikut ini:
Artinya:"Maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Alloh,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya". (QS.
An Nisaa' [04]: 82)
6. Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi
akal.Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan apabila dikatakan
kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Alloh," mereka
menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati
dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti
juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan
tidak mendapat petunjuk?". (QS. Al Baqarah [2]: 170)
Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami
dan mengikuti kebenaran. Allah subhanahu wa'ta'ala berfirman:
Artinya:"Dan orang-orang yang
menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi
mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-
hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan
mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal". (QS. Az Zumar [39]:
17-18)
Adapun wahyu dalam hal ini yang dapat dipahami
sebagai wahyu langsunng (al-Qur’an) ataupun wahyu yang tidak langsung
(al-Sunnah), kedua-duanya memiliki fungsi dan kedudukan yang sama meski tingkat
akurasinya berbeda karena disebabkan oleh proses pembukuan dan pembakuannya. Kalau al-Qur’an langsung ditulis semasa wahyu itu diturunkan dan
dibukukan di masa awal islam, hanya beberapa waktu setelah Rosul Allah wafat
(masa Khalifah Abu Bakar), sedangkan al-hadis atau al-Sunnah baru dibukukan
pada abat kedua hijrah (masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz), oleh karena itu
fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
1. Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukan kepada al-Qur’an dan
Sunnah.Dengan demikian dapat dipahami bahwa pemahaman dan penngamalan ajaran
Islam tanpa merujuk pada al-quran dan al-sunnah adalah omong kosong.
2. Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan difungsikan
biala akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami
islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar hasil pemahamannya
benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidal boleh menyimpang dari
prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya
terhadap indera penglihatan manusia.. Oleh karena itulah, Alloh SWT
menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat.Di dalam
keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui
batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat
dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi
sebagai alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan
petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk memahami dan
menjabarkan secara praktis.
Akal adalah potensi berharga yang diberikan
Allah SWT hanya kepada manusia, anugerah tersebut diberikan Allah SWT untuk
membekali manusia yang mengemban misi penting menjadi khalifah fil ardi, dengan
kata lain manusia sebagai duta kecil Allah SWT.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia
mempunyai kesanggupan untuk memenaklukan kekuatan mahkluk lain di sekitarnya.
Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupanya untuk
mengalahkan mahluk lain. Bertambah rendah akal manusia, bertambah rendsh
pulalah kesanggupanya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah Hubungan Antara
Akal dan Wahyu.Ia menjelaskan bahwa hubungan antara akal dan wahyu sering
menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Dalam pemikiran islam, baik dibidang
filsafat, ilmu kalam apalagi ilmu fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu.
Akal tetap tunduk pada wahyu.Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak
untuk menentang wahyu. Yang bertentangan adalah pendapat akal ulama tertentu
dengan pendapat akal ulama lain.
Dengan adanya akal manusia mampu melaksanakan
tugas tersebut dengan baik, dan dapat menemukan kebenaran yang hakiki sebagaimana
pendapat Mu’tazilah yang mengatakan segala pengetahuan dapat diperoleh dengan
akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam
sehingga manusia sebetulnya ada wahyu atau tidak tetap wajib bersyukur kepada
Allah SWT, dan manusia wajib mengetahui baik dan buruk; indah dan jelek; bahkan
manusia wajib mengetahui Tuhan dengan akalnya walaupun wahyu belum turun.[2]
Menurut Mu’tazilah,
seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, termasuk mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah
kepada Tuhan. Abu Huzail, menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka
manusia tetap wajib beribadah kepada Tuhan, sesuai dengan pengetahuannya
tentang Tuhan. Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui
melalui akal.Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk, maka
dengan akal juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu adalah wajib,
dan menjauhi keburukan juga wajib.
Menurut Asy’ariyah, pertama semua
kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu tidak turun,
maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia.Karena akal tidak mampu membuat
kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan kewajiban
melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.
Adapun
berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah yaitu
dapat diketahui melalui akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak
mampu, karena sifat baik dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu
disebut baik, jika dapat pujian
syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam oleh syari’at. Karena pujian dan
kecaman bersumber dari wahyu, maka sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk juga
melalui wahyu.[3]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah kelompok kami bahwa Akal adalah daya pikir
untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman
yang didapat oleh akal bisa salah juga bisa benar.Wahyu adalah firman Allah
yang disampaikan kepada nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
disampaikan kepada umat.Pengetahuan adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan
ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi
umat manusia.Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu
dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus
berpisah.Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sains dan lestarinya
budaya dengan memberikan ruang kebebasan untuk akal agar berpikir dengan
dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan
wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi
sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya
saling menyempurnakan.
B.
Saran
Sebagai umat islam kita harus selalu menggali ilmu pengetahuan yang
berguna bagi umat manusia. Dan agar kita
dapat mengaplikasikan ilmu yang di peroleh untuk kepentingan dan kemaslahatan
umat manusia dan menjadikan Al Quran dan Al Sunnah sebagai pegangan hidup
karena keduanya merupakan sumber ilmu yang paling utama.
Demikian makalah ini kami buat dan sampaikan kepada pembaca
sekalian.Makalah ini dibuat bukan semata – mata dalam rangka memenuhi tugas
pada mata kuliah, pada akhirnya kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat
serta menambah wawasan bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad. Tauhid Ilmu
kalam. Bandung: Pustaka Setia. 1998.
Ananda Arfa, Faisar. Filsafat
Hukum Islam. Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis. 2007.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat
Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1999.
Nasution, Harun. Akal Dan
Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press. 1986.
Rozak, Abdul. Rosihon Anwar. Ilmu
kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2001.
0 komentar:
Posting Komentar