Jumat, 05 Juni 2015

MAKALAH KEKUASAAN DAN TUHAN DALAM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ada banyak pendapat dari para pemikir islam mengenai dzat dan sifat Allah. Sejak setelah rosulullah wafat mulai muncul pemikiran yang begitu beragam dari umat islam sendiri. Hal ini bukan karena kurangnya penjelasan tentang dzat dan sifat Allah di dalam Al-Qur’an tetapi karena pemahaman dan penafsiran manusia terhadap ayat ayat itu. Perbedaan penafsiran ini dipengaruhi ileh banyak faktor, seperti latar belakang pendidikan, wilayah, pola pikir, dan juga terkadang orientasi tertentu.
Mengenai kekuasaan Tuhan sebenarnya ada banyak ayat yang membahas tentang kekuasaan Tuhan, baik itu Hadis ataupun Al-Qur’an. Karena banyaknya ayat itulah manusia mulai memikirkan dan mengemukakan pemahaman mereka tentang seperti apa atau sejauh mana kekuasaan Allah itu.
Perdebatan mengenai masalah kekuasaan Tuhan muncul karena rasa keingintahuan umat islam yang tinggi terhadap Tuhannya, sehingga ingin mengetahui dzat Tuhan walaupun mereka tahu bahwa pemikiran mereka tidak akan sampai pada kesimpulan dengan kebenaran yang mutlak. Tetapi dengan alasan ingin menambah keyakinan terhadap Tuhan dan agar mempunyai kemampuan berdebat dengan orang non islam mengenai masalah keTuhanan mereka tetap mempelajari ilmu kalam.
B.     Rumusan Masalah
-          Bagaimana kekuasaan tuhan itu?
-          Apa yang dimaksud debgan tuhan itu?
-          Dalil hukumnya?





BAB II
PEMBAHASAN
KEKUASAAN DAN TUHAN
A.    Kekuasaan Tuhan
1.      Pendapat Imam Abu Hanifah
Mengenai kekuasaan Allah Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Allah tidak disifati dengan sifat sifat makhluknya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui. Tetapi kesemuanya itu tidak sama dengan apa yang dimiliki oleh makhluk ataupun manusia. Sehingga sifat Allah tidak boleh direka reka bentuknya, dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaannya dan nikmatnya, atau bahwa murka Allah adalah siksanya dan ridha Allah adalah pahalanya, karena hal itu berarti meniadakan sifat sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan muktazilah. Beliau juga menyatakan bahwa orang yang menyifati Allah dengan sifat sifat manusia berarti ia telah kafir.
Allah memiliki sifat dzatiyah dan fi’liyah. Sifat dzatiyahnya adalah hayah (hidup), qudrah (mampu), ilm (mengetahui), sama’ (mendengar), bashar (melihat), dan iradah (kehendak). Serta sifat fi’liyahnya adalah menciptakan, memberi rizki, membuat, dan lain lain yang berkaitan dengan sifat sifat perbuatan.
Imam Abu Hanifah berkata bahwa Allah berada di langit bukan di bumi, kemudian ada orang yang bertanya “tahukah anda bahwa Allah berfirman “Allah itu bersamamu”, beliau menjawab bahwa ungkapan itu seperti orang yang menulis surat kepada seseorang yang isinya, saya akan selalu bersamamu padahal kamu jauh darinya.
Dari pendapat Abu Hanifah diatas kita dapat melihat bahwa beliau sangat menentang golongan yang memikirkan tentang seperti apa sifat sifat Allah itu, karena akibat dari penafsiran mereka tentang sifat sifat Allah itu menyebabkan mereka saling bermusuhan karena berbeda pendapat sehingga beliau melarang pembelajaran ilmu kalam.
Imam Abu Hanifah secara tidak langsung mengatakan bahwa kekuasaan Allah itu tidak sama dengan kekuasaan makhluk. Kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu sehingga tidak ada yang luput dari kuasanya termasuk untuk membuat seseorang menjadi kafir ataupun mukmin. Karena menurut beliau “di dunia ini dan akhirat tidaklah ada dan terjadi sesuatu kecuali berdasarkan kehendak Allah”, dan beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa semua perbuatan hamba, baik yang bergerak ataupun diam, merupakan usahanya, dan Allah yang menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, pengetahuan, penetapan dan qadar Allah.
2.       Pendapat Imam Malik
Sebagaimana Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga sangat menentang golongan yang menggunakan rasionya untuk memikirkan dzat dan sifat Allah, bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, dia harus dihukum cambuk dan dipenjara sampai dia bertaubat . Beliau berkeyakinan bahwa Allah di langit dan ilmu (pengetahuan) Allah meliputi setiap tempat. Dan beliau yakin bahwa ketetapan Allah sudah ditentukan telebih dahulu, yaitu sesuai firman Allah “sekiranya kami menghendaki, kami akan memberikan petunjuk kepada semua orang. Tetapi tetaplah keputusanku, bahwa aku akan memenuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia semuanya (As-Sajdah :13).
Beliau menentang pendapat kelompok qadariyah yang menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan maksiat, dan manusia itu mempunyai kemampuan, yang jika mau bisa menjadi orang orang taat atau menjadi orang orang yang durhaka.
3.      Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempunyai aqidah yang sejalan dengan imam abu hanifah dan imam malik. Karena imam syafi’i termasuk juga dalam ahlussunah wal jamaah. Mengenai masalah kekuasaan Allah imam syafii mengatakan bahwa masalah makhluk yang bisa dilihat dengan mata kepala saja kita masih banyak yang tidak tahu, apalagi mengenai masalah ilmu pencipta makahluk itu. Kemudian Imam Syafi’i menyuruh untuk menjadikan makhluk sebagai bukti atas kekuasaan Allah, dan jangan memaksa diri untuk mengetahui hal hal yang tidak dapat dicapai oleh akal.





B.     Dalil – Dalil Kekuasaan Allah
Mengenai kekuasaan Allah tentu saja kita akan merujuk kepada ayat ayat yang menjelaskan hal itu. Dalam kaitannya dengan kekuasaan, Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 20:
ߊ%s3tƒ ä-÷Žy9ø9$# ß#sÜøƒs öNèdt»|Áö/r& ( !$yJ¯=ä. uä!$|Êr& Nßgs9 (#öqt±¨B ÏmŠÏù !#sŒÎ)ur zNn=øßr& öNÍköŽn=tæ (#qãB$s% 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# |=yds%s! öNÎgÏèôJ|¡Î/ öNÏd̍»|Áö/r&ur 4 žcÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇËÉÈ  
Artinya :
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.(Q.S. Al Baqarah : 20).[1]
Menurut tafsir al maraghi pernyataan ini berarti bahwa apa yang dikehendaki Allah, maka hal tersebut tentunya pasti ada. Sebab bagi Allah tidak ada sesuatu yang tidak bisa, baik di bumi maupun dilangit, semuanya bisa dilakukan Allah .[2]
Pendapat ini sejalan dengan al ghazali yang mengemukakan bahwa salah satu sifat ma’ani Allah adalah qudrah (maha kuasa) sehingga perbuatan Allah tidaklah terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi juga dalam menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Sehingga perbuatan manusia tidak terlepas dari kehendak Allah. Manusia hanya diberi kekuasaan yang terbatas dalam lingkungan kehendak Tuhan dan tidak akan melampaui garis garis qadar. Alghazali berpendapat berdasarkan firman Allah “Allah sesatkan siapa saja yang dikehendakinya dan ia beri hidayah orang yang dikehendakinya”
Ayat tersebut dengan jelas menyatakan bahwa Allah dapat melakukan apapun yang dikehendakinya kepada siapapun sehingga semua yang ada di alam semesta ini tidak ada yang lepas dari kuasa Allah. Tetapi jika dihubungkan dengan perbuatan manusia yang tidak lepas dari kehendak Allah maka apakah Allah tidak berlaku dhalim terhadap makhluknya ketika Allah menyiksanya karena kesalahan yang diperbuatnya padahal perilakunya tidak lepas dari kehendak Allah. Maka dalam konteks tertentu pendapat ini tidak bisa dipakai karena jika kehendak dan kekuasaan Allah terhadap makhluk berlaku secara mutlak dan menyeluruh, kemudian dihubungkan dengan siksa Allah maka apakah tidak dhalim jika Allah menyiksa makhluk yang berbuat salah bukan karena kehendaknya sendiri.
Diayat lain Allah juga berfirman tentang kekuasaannya :
¬! à7ù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $tBur £`ÍkŽÏù 4 uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 7ƒÏs% ÇÊËÉÈ  
Artinya :
kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S. AL Maidah 120).
Imam Jalaluddin dalam tafsir Jalalain-nya menginterpretasikan bahwa ayat tersebut menjelaskan kepunyaan Allah (langit dan bumi) sebagai tempat penyimpanan hujan, semua tumbuhan, semua rezeki serta apa yang ada di dalamnya. Digunakan kata “maa”, karena kebanyakan makhluk Allah itu terdiri dari yang tidak berakal. Tetapi dia maha kuasa atas segala sesuatu, termasuk yang tidak berakal itu. Kekuasaa Tuhan itu jua ditegaskan memberi pahala kepada yang berbuat benar, dan menyiksa orang yang berbuat dusta.[3]
C.    Pendapat Aliran-Aliran Tentang Kekuasaan
1.       Aliran Qadariyah
Qadariyah adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri, penekanan pada kebebasan manusia dalam mewejudkan perbuatannya.
Manusia dinilai mempunyai kekuatan melaksanakan kehendaknya, menentukan keputusan. dalam surat Al-Rad ayat 11, Allah berfirman:”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa, kecuali jika bangsa itu mengubah keadaan diri mereka sendiri. Menurut Ghailan Al Dimasyqi pendiri aliran ini, manusia berkuasa atas perbuatan – perbuatannya . manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjahui perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dirinya sendiri.[4] Pendapat mereka sebagian besar sama dengan muktazilah hanya saja kalau muktazilah mengatakan baha perbuatan menusia yang baik dijadikan Tuhan, dan yang buruk tidalk dijadikan oleh Tuhan, sedangkan qadariyah menyatakan bahwa baik dan buruk tidak dijadikan oleh Allah.
2.       Aliran Jabariyah
Jabariya mengandung arti memaksa, menurut Al-Syahrastani, jabariah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba seorang hakikat dan menyadarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Paham yang dibawa ole Jahm Ibn Safwan adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan oleh Ma’bad dan Ghailan. Manusia menurut Jahm tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa apa. Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.  Paham ini diduga telah ada sejak sebelum agama Islam datang kemasyarakat arab. Mereka pada mulanya merupakan pengikut ahlussunah wal jamaah, tetapi mereka lebih ekstrim menyatakan bahwa sekalian yang terjadi di alam ini pada hakikatnya dijadikan oleh Tuhan, sehingga kalau orang meninggalkan sholat ataupun melakukan kejahatan maka semuanya tidak apa apa karena hal itu dijadikan oleh Allah. Perbuatan yang dilakukan manusia baik yang terpuji maupun yang tercela hakikatnya bukanlah hasil pekerjaannya sendiri melainkan hanyalah ciptaan Allah, yang dilaksanakanNya melalui tangan menusia.[5] Begitulah pendapat dari aliran ini. Dengan firman Allah dalam surat ; Al-Saffat ayat 96, ditegaskan : Allah, menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.[6]
3.      Aliran Maturidiyah
Adapun kaum: Muturidiyah, khususnya kelompok Bukhara, mereka menganut pendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan muthlak. Menurut al-Bazdawiy, Tuhan memang berbuat apa saja yang dikehendakiNya dan menentukan segala-galanya menurut kehendakNya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan tidak larangan-larangan terhadap Tuhan. Akan tetapi walau bagaimanapun juga faham mereka tentang kekuasaan Tuhan tidaklah semuthlak faham Asy’ari. Bukhara dalam mempertahankan kemuthlakan kekuasaan Tuhan, akan tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan oleh kaum Mu’tazilah bagi kekuasaan muthlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan oleh kaum Maturidiy kelompok samarkand ini, adalah :
- Kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada pada manusia
-  Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan sewenang-wenang, akan tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau
Adapun kaum Maturidiy kelompok Samarkand, tidaklah sekeras kelompok
berbuat jahat.
4.      Aliran Asy’-Ariyah
Paham ini meletakkan kekuasaan Allah diatas segalanya dan berlaku terhadap segala sesuatu, sehingga manusia pada hakikatnya tidak mempunyai daya dan kekuasaan apapun untuk berbuat sesuatu kecuali jika kekuasaan dan kemurahan Allah mendukung perbuatan itu, meskipun perbuatan itu baik ataupun buruk harus melalui persetujuan Allah. Sehingga keadilan menurut asy’ariyah adalah bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaannya, sebaliknya ketidak adilan adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang.
Jadi menurut Asy’ariyah semua system nilai yang ada baik itu baik buruk, benar salah, adil ataupun dhalim semuanya dipandang dari sudut kekuasaan Allah, sehingga apapun yang diperbuat Allah kepada makhluknya merupakan suatu hal yang benar meskipun menurut pandangan manusia hal itu salah.
Bagi Al-Asyari maupun Mu’tazilah Allah mempunyai keadilan dan kekuasaan, bagi Mu’tazilah keadilan Allah lebih besar dari kekuasaan, Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala bagi yang berbuat baik. bagi Al-Asyari kekuasaan Allah melebihi keadilannya. Karena Allah maha kuasa atas segala sesuatu.[7]
D.    Konsep Tuhan Menurut Islam
Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari konsep Tuhan tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.

konsep Tuhan dalam Islam otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang juga bersifat otentik dan final, lafdhan wa ma’nan dari Allah , Shalih fi kulli zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Prof. Al-Attas menjelaskan “The nature of God as revealed in Islam is Derived from Revelation”.[8]
Konsep Tuhan dalam Islam bersifat “haq”. Bukan Tuhan hasil personofikasi, sebagaimana agama lain melakukannya sebagai penyelamat, penebus dosa, Bapa, anak, ruh qudus dan sebagainya. Dan bukan juga seperti Tuhan dalam konsepsi Aristotle, yaitu Tuhan filsafat, yang sering diistilahkan dengan penggerak yang tidak bergerak, Tuhan yang ada dalam pikiran manusia. Yang berari bahwa ketika manusia tidak berfikir Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada.  Tuhan adalah Dzat yang transenden dan mutlak, yang sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak tepat manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri mengenai personifikasi ataupun atribusi kepada Dzat Pencipta.[9]

Konsep Tuhan dalam Islam telah memperlihatkan kemurnian dan kejelasan dengan konsep Tuhan dalam agama lain (Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dsb) maupun dengan konsep Tuhan dalam pandangan penggagas pluralisme agama. Baik agama lain maupun kaum pluralis, sama-sama menghadapi problem teologis. Kalangan non muslim membangun konsep Tuhan di atas landasan yang rapuh, sedangkan kalangan pluralis membangun doktrinnya di atas keraguan-raguan(skeptis)  dengan meragukan kebenaran yang seharusnya diyakini.



E.     Makna LAA ILAAHA ILLALLAH

Konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan dalam al-Qur’an yang tergambar dalam syahadat tauhid “Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah” (tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Seseorang yang bertauhid, akan mengikrarkan dan meyakini, bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah. Bukan Tuhan yang lain. Kemudian ia juga harus menyatakan bahwa Muhammad sebagai utusan Allah yang membawa risalah untuk mengenalkan Allah kepada hambanya. Tauhid disini dinamakan tauhidullah, yakni pengenalan dan pengakuan akan Allah Yang maha Esa sebagai satu-satunya Tuhan
Konsep Laa ilaaha illallah, banyak kita temukan dalam al-Qur’an, diantaranya, Dalam surah Muhammad ayat 13 , Allah telah menyatakan “ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah. Dalam surah Thaha ayat 13-14, Allah berfirman, “ Aku memilihmu, maka perhatikan apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesunggunya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain-Ku. Karena itu, sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk mengingat-Ku[10]. Ayat ini merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Kemudian juga dalam surat al-Isra’, Allah berfirman, “Tidak ada Tuhan selain Dia”.  Dari beberapa ayat tersebut,nampak jelas bahwa Tuhan dalam Islam adalah Allah.

Selain terdapat dalam Al-Qur’an, konsep Laa ilaaha illallah  juga terdapat dalam beberapa hadis. Diantaranya, dari ‘Abd Allah ibn Abi Qotadah dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda, siapa yang mengucap, ‘Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah’, dengan lisannya, dan dengan ini kalbunya tentram, niscaya ia diharamkan menghuni neraka. Riwayat lain, dari Mu’ad ibn Jabal meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Siapa yang akhir perkataannya Laa Ilaaha Illallah lalu meninggal Dunia, niscaya ia masuk surga.

F.     Makna Allah

Allah adalah sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci , yang maha mulia; daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut istilah-istilah yang mereka tentukan.[11]

Istilah nama Allah sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan dalam Islam. Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan nama Lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak terdapat problem dalam penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan pun, dan siapapun, umat Islam akan selalu menyebut Tuhannya dengan  “Allah”. Hal ini dikarenakan nama Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur’an, dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal.

Allah swt. (Allah, kata agung (lafadz al-jalalah) adalah nama diri (ism al-dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya. Kata itu tersusun dari empat huruf. Jika huruf  pertama, alif dihilangkan, tiga huruf  lainnya simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunya) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah) . Huruf pertama, alif, merupakan sumber segala sesuatu, dan huruf terakhir, hu (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Mahasuci dari semua sekutu.[12]

Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilaah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa.

Konsep Allah juga telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu menerangkan masalah makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat orang-orang Arab pra Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang mereka pahami. Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah  berarti Tuhan Injil. Ketiga, Orang-orang Arab  pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen dan non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Hal ini terjadi ketika seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan Al-A’sha Al-Kabar menulis puisi pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah kearah monoteisme.[13] Konsep Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat menggantungkan harapan.

Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.

Menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.




Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya. Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.

Allah juga merupakan sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci , yang maha mulia; daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut istilah-istilah yang mereka tentukan.[14]

Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilaah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa.

Dalam kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya mengutusnya membawa Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan nasab-Nya. Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya dengan menggunakan kalimat perintah:
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.  Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.

Surah al-Ikhlash ini berisi sebagian al-asma’ul husna. Pengertian “Allah Ahad’ adalah Allah itu satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan-Nya. Ibnu Abbas dan sekelompok mufassir al-Qur’an berkomentar bahwa pengertian Allah Ahad adalah Allah itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.[15] Sebagian filsuf  Arab, diantaranya Ibnu Sina, berpendapat bahwa pengertian ‘Allah Ahad’’ adalah bahwa Allah itu satu (sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan keterdahuluan-Nya, serta tidak ada sesuatupun  yang menyertai-Nya dalam sifat-sifat wajib-Nya. Dia wajib bersifat ada dan mengetahui segala sesuatu, hidup namun tidak akan mati, mengubah namun tidak pernah berubah.

Menurut sebagian pakar bahasa, Allah SWT. Berfirman, “Qul huwa Allahu Ahad”, bukan “Qul huwa Allahu Wahid”. Kata Wahid termasuk kategori bilangan sehingga sangat mungkin yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun kata Ahad tidak dapat dibagi lagi, baik dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifat-Nya.










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Mengenai kekuasaan Allah Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Allah tidak disifati dengan sifat sifat makhluknya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui. Tetapi kesemuanya itu tidak sama dengan apa yang dimiliki oleh makhluk ataupun manusia. Sehingga sifat Allah tidak boleh direka reka bentuknya, dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaannya dan nikmatnya, atau bahwa murka Allah adalah siksanya dan ridha Allah adalah pahalanya, karena hal itu berarti meniadakan sifat sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan muktazilah. Beliau juga menyatakan bahwa orang yang menyifati Allah dengan sifat sifat manusia berarti ia telah kafir.
Mengenai kekuasaan Allah tentu saja kita akan merujuk kepada ayat ayat yang menjelaskan hal itu. Dalam kaitannya dengan kekuasaan, Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 20:
ߊ%s3tƒ ä-÷Žy9ø9$# ß#sÜøƒs öNèdt»|Áö/r& ( !$yJ¯=ä. uä!$|Êr& Nßgs9 (#öqt±¨B ÏmŠÏù !#sŒÎ)ur zNn=øßr& öNÍköŽn=tæ (#qãB$s% 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# |=yds%s! öNÎgÏèôJ|¡Î/ öNÏd̍»|Áö/r&ur 4 žcÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇËÉÈ  
Artinya :
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.(Q.S. Al Baqarah : 20).[16]


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi.1992.Semarang: Toha Putra, jilid 1.
Bahrun Abu Bakar,L.C dengan judul Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul Ayat, Cet. IV, Bandung: Sinar Baru, 1997.
Departemen Agama, AL Quran terjemah, Semarang, Toha Putra, 2007.
Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011).
Harun Nasution,  Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1986.
Isma'il Raji Al-Faruqi, Al-Tawhid. Cetakan IV. The International Institute of Islamic Thought, (Herndon USA, 1992).
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, diterjemahkan
K.H.Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam, Rajawali Pers, Jakarta.2010.
Khafrawi Ridwan, MA,  Ensiklopedia Islam, (Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997).
Muhammad kamil Hasan Al-Mahami, Al-Maushu’ah al-Qur’aniyyah (terj. Ahmad Fawaid Syadzili; Ensiklopedi Al-Qur’an), (Jakarta Timur: Kharisma Ilmu, 2005).

S.M. Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphisics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003).





[1] Departemen Agama, (2007), AL Quran terjemah, Semarang, Toha Putra. Hlm. 5
[2] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi.1992. Semarang : Toha Putra, jilid 1. Hlm. 84.
[3] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, diterjemahkan Bahrun Abu Bakar,L.C dengan judul Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul Ayat, Cet. IV, Bandung: Sinar Baru, 1997, h. 511-512

[4]  Harun Nasution, (1986), Teologi Islam, UI-Press, Jakarta. Hlm. 35
[5] K.H.Salihun A. Nasir, (2010), Pemikiran Kalam, Rajawali Pers, Jakarta. Hlm. 144
[6] Ibid, Harun Nasution. Hlm. 35
[7] Ibid, Harun Nasution, Hlm.64  
[8] S.M. Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphisics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995),
[9] Isma'il Raji Al-Faruqi, Al-Tawhid. Cetakan IV. The International Institute of Islamic Thought, (Herndon USA, 1992).
[10] Departemen Agama, (2007), AL Quran terjemah, Semarang, Toha Putra.
[11] Khafrawi Ridwan, MA,  Ensiklopedia Islam, (Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997), hal. 123-124
[12] Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011)

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal. 105.

[14] Khafrawi Ridwan. Ensiklopedia Islam, (Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997), hal. 123-124
[15] Muhammad kamil Hasan Al-Mahami, Al-Maushu’ah al-Qur’aniyyah (terj. Ahmad Fawaid Syadzili; Ensiklopedi Al-Qur’an), (Jakarta Timur: Kharisma Ilmu, 2005), hal. 20-21

[16] Departemen Agama, (2007), AL Quran terjemah, Semarang, Toha Putra. Hlm. 5


SUHENDRA

Author & Editor

A Teacher || Businessman || Father || Warrior of Civilization

0 komentar:

Posting Komentar