BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ada banyak pendapat
dari para pemikir islam mengenai dzat dan sifat Allah. Sejak setelah rosulullah
wafat mulai muncul pemikiran yang begitu beragam dari umat islam sendiri. Hal
ini bukan karena kurangnya penjelasan tentang dzat dan sifat Allah di dalam
Al-Qur’an tetapi karena pemahaman dan penafsiran manusia terhadap ayat ayat
itu. Perbedaan penafsiran ini dipengaruhi ileh banyak faktor, seperti latar
belakang pendidikan, wilayah, pola pikir, dan juga terkadang orientasi
tertentu.
Mengenai kekuasaan
Tuhan sebenarnya ada banyak ayat yang membahas tentang kekuasaan Tuhan, baik
itu Hadis ataupun Al-Qur’an. Karena banyaknya ayat itulah manusia mulai
memikirkan dan mengemukakan pemahaman mereka tentang seperti apa atau sejauh
mana kekuasaan Allah itu.
Perdebatan mengenai
masalah kekuasaan Tuhan muncul karena rasa keingintahuan umat islam yang tinggi
terhadap Tuhannya, sehingga ingin mengetahui dzat Tuhan walaupun mereka tahu
bahwa pemikiran mereka tidak akan sampai pada kesimpulan dengan kebenaran yang
mutlak. Tetapi dengan alasan ingin menambah keyakinan terhadap Tuhan dan agar
mempunyai kemampuan berdebat dengan orang non islam mengenai masalah keTuhanan
mereka tetap mempelajari ilmu kalam.
B.
Rumusan Masalah
-
Bagaimana
kekuasaan tuhan itu?
-
Apa
yang dimaksud debgan tuhan itu?
-
Dalil
hukumnya?
BAB II
PEMBAHASAN
KEKUASAAN DAN TUHAN
A.
Kekuasaan Tuhan
1.
Pendapat Imam Abu Hanifah
Mengenai kekuasaan
Allah Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Allah tidak disifati dengan sifat
sifat makhluknya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui. Tetapi
kesemuanya itu tidak sama dengan apa yang dimiliki oleh makhluk ataupun
manusia. Sehingga sifat Allah tidak boleh direka reka bentuknya, dan juga tidak
boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaannya dan nikmatnya,
atau bahwa murka Allah adalah siksanya dan ridha Allah adalah pahalanya, karena
hal itu berarti meniadakan sifat sifat Allah, sebagaimana pendapat yang
dipegang oleh ahli qadar dan golongan muktazilah. Beliau juga menyatakan bahwa
orang yang menyifati Allah dengan sifat sifat manusia berarti ia telah kafir.
Allah memiliki sifat
dzatiyah dan fi’liyah. Sifat dzatiyahnya adalah hayah (hidup), qudrah (mampu),
ilm (mengetahui), sama’ (mendengar), bashar (melihat), dan iradah (kehendak).
Serta sifat fi’liyahnya adalah menciptakan, memberi rizki, membuat, dan lain
lain yang berkaitan dengan sifat sifat perbuatan.
Imam Abu Hanifah
berkata bahwa Allah berada di langit bukan di bumi, kemudian ada orang yang
bertanya “tahukah anda bahwa Allah berfirman “Allah itu bersamamu”, beliau
menjawab bahwa ungkapan itu seperti orang yang menulis surat kepada seseorang
yang isinya, saya akan selalu bersamamu padahal kamu jauh darinya.
Dari pendapat Abu
Hanifah diatas kita dapat melihat bahwa beliau sangat menentang golongan yang
memikirkan tentang seperti apa sifat sifat Allah itu, karena akibat dari
penafsiran mereka tentang sifat sifat Allah itu menyebabkan mereka saling
bermusuhan karena berbeda pendapat sehingga beliau melarang pembelajaran ilmu
kalam.
Imam Abu Hanifah secara tidak langsung mengatakan bahwa kekuasaan Allah itu tidak sama dengan kekuasaan makhluk. Kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu sehingga tidak ada yang luput dari kuasanya termasuk untuk membuat seseorang menjadi kafir ataupun mukmin. Karena menurut beliau “di dunia ini dan akhirat tidaklah ada dan terjadi sesuatu kecuali berdasarkan kehendak Allah”, dan beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa semua perbuatan hamba, baik yang bergerak ataupun diam, merupakan usahanya, dan Allah yang menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, pengetahuan, penetapan dan qadar Allah.
Imam Abu Hanifah secara tidak langsung mengatakan bahwa kekuasaan Allah itu tidak sama dengan kekuasaan makhluk. Kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu sehingga tidak ada yang luput dari kuasanya termasuk untuk membuat seseorang menjadi kafir ataupun mukmin. Karena menurut beliau “di dunia ini dan akhirat tidaklah ada dan terjadi sesuatu kecuali berdasarkan kehendak Allah”, dan beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa semua perbuatan hamba, baik yang bergerak ataupun diam, merupakan usahanya, dan Allah yang menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, pengetahuan, penetapan dan qadar Allah.
2.
Pendapat Imam Malik
Sebagaimana Imam Abu
Hanifah, Imam Malik juga sangat menentang golongan yang menggunakan rasionya
untuk memikirkan dzat dan sifat Allah, bahkan beliau mengatakan bahwa orang
yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, dia harus dihukum cambuk dan
dipenjara sampai dia bertaubat . Beliau berkeyakinan bahwa Allah di langit dan
ilmu (pengetahuan) Allah meliputi setiap tempat. Dan beliau yakin bahwa
ketetapan Allah sudah ditentukan telebih dahulu, yaitu sesuai firman Allah
“sekiranya kami menghendaki, kami akan memberikan petunjuk kepada semua orang.
Tetapi tetaplah keputusanku, bahwa aku akan memenuhi neraka jahanam dengan jin
dan manusia semuanya (As-Sajdah :13).
Beliau menentang pendapat kelompok qadariyah yang menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan maksiat, dan manusia itu mempunyai kemampuan, yang jika mau bisa menjadi orang orang taat atau menjadi orang orang yang durhaka.
Beliau menentang pendapat kelompok qadariyah yang menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan maksiat, dan manusia itu mempunyai kemampuan, yang jika mau bisa menjadi orang orang taat atau menjadi orang orang yang durhaka.
3.
Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempunyai
aqidah yang sejalan dengan imam abu hanifah dan imam malik. Karena imam syafi’i
termasuk juga dalam ahlussunah wal jamaah. Mengenai masalah kekuasaan Allah
imam syafii mengatakan bahwa masalah makhluk yang bisa dilihat dengan mata
kepala saja kita masih banyak yang tidak tahu, apalagi mengenai masalah ilmu
pencipta makahluk itu. Kemudian Imam Syafi’i menyuruh untuk menjadikan makhluk
sebagai bukti atas kekuasaan Allah, dan jangan memaksa diri untuk mengetahui
hal hal yang tidak dapat dicapai oleh akal.
B.
Dalil – Dalil Kekuasaan Allah
Mengenai kekuasaan
Allah tentu saja kita akan merujuk kepada ayat ayat yang menjelaskan hal itu.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat
20:
ß%s3t ä-÷y9ø9$# ß#sÜøs öNèdt»|Áö/r& ( !$yJ¯=ä. uä!$|Êr& Nßgs9 (#öqt±¨B ÏmÏù !#sÎ)ur zNn=øßr& öNÍkön=tæ (#qãB$s% 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# |=yds%s! öNÎgÏèôJ|¡Î/ öNÏdÌ»|Áö/r&ur 4 cÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇËÉÈ
Artinya
:
Hampir-hampir
kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka,
mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti.
Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan
mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.(Q.S. Al Baqarah : 20).[1]
Menurut tafsir al maraghi pernyataan ini berarti bahwa
apa yang dikehendaki Allah, maka hal tersebut tentunya pasti ada. Sebab bagi
Allah tidak ada sesuatu yang tidak bisa, baik di bumi maupun dilangit, semuanya
bisa dilakukan Allah .[2]
Pendapat ini sejalan
dengan al ghazali yang mengemukakan bahwa salah satu sifat ma’ani Allah adalah
qudrah (maha kuasa) sehingga perbuatan Allah tidaklah terbatas dalam
menciptakan alam saja, tetapi juga dalam menciptakan perbuatan manusia dan
ikhtiarnya. Sehingga perbuatan manusia tidak terlepas dari kehendak Allah.
Manusia hanya diberi kekuasaan yang terbatas dalam lingkungan kehendak Tuhan
dan tidak akan melampaui garis garis qadar. Alghazali berpendapat berdasarkan
firman Allah “Allah sesatkan siapa saja yang dikehendakinya dan ia beri hidayah
orang yang dikehendakinya”
Ayat tersebut dengan
jelas menyatakan bahwa Allah dapat melakukan apapun yang dikehendakinya kepada
siapapun sehingga semua yang ada di alam semesta ini tidak ada yang lepas dari
kuasa Allah. Tetapi jika dihubungkan dengan perbuatan manusia yang tidak lepas
dari kehendak Allah maka apakah Allah tidak berlaku dhalim terhadap makhluknya
ketika Allah menyiksanya karena kesalahan yang diperbuatnya padahal perilakunya
tidak lepas dari kehendak Allah. Maka dalam konteks tertentu pendapat ini tidak
bisa dipakai karena jika kehendak dan kekuasaan Allah terhadap makhluk berlaku
secara mutlak dan menyeluruh, kemudian dihubungkan dengan siksa Allah maka
apakah tidak dhalim jika Allah menyiksa makhluk yang berbuat salah bukan karena
kehendaknya sendiri.
Diayat lain Allah juga
berfirman tentang kekuasaannya :
¬! à7ù=ãB ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $tBur £`ÍkÏù 4 uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 7Ïs% ÇÊËÉÈ
Artinya
:
kepunyaan
Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha
Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S. AL Maidah 120).
Imam
Jalaluddin dalam tafsir Jalalain-nya menginterpretasikan bahwa ayat tersebut
menjelaskan kepunyaan Allah (langit dan bumi) sebagai tempat penyimpanan hujan,
semua tumbuhan, semua rezeki serta apa yang ada di dalamnya. Digunakan kata
“maa”, karena kebanyakan makhluk Allah itu terdiri dari yang tidak berakal.
Tetapi dia maha kuasa atas segala sesuatu, termasuk yang tidak berakal itu.
Kekuasaa Tuhan itu jua ditegaskan memberi pahala kepada yang berbuat benar, dan
menyiksa orang yang berbuat dusta.[3]
C.
Pendapat Aliran-Aliran Tentang Kekuasaan
1.
Aliran Qadariyah
Qadariyah adalah aliran yang percaya
bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri, penekanan
pada kebebasan manusia dalam mewejudkan perbuatannya.
Manusia dinilai mempunyai kekuatan melaksanakan kehendaknya, menentukan keputusan. dalam surat Al-Rad ayat 11, Allah berfirman:”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa, kecuali jika bangsa itu mengubah keadaan diri mereka sendiri. Menurut Ghailan Al Dimasyqi pendiri aliran ini, manusia berkuasa atas perbuatan – perbuatannya . manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjahui perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dirinya sendiri.[4] Pendapat mereka sebagian besar sama dengan muktazilah hanya saja kalau muktazilah mengatakan baha perbuatan menusia yang baik dijadikan Tuhan, dan yang buruk tidalk dijadikan oleh Tuhan, sedangkan qadariyah menyatakan bahwa baik dan buruk tidak dijadikan oleh Allah.
Manusia dinilai mempunyai kekuatan melaksanakan kehendaknya, menentukan keputusan. dalam surat Al-Rad ayat 11, Allah berfirman:”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa, kecuali jika bangsa itu mengubah keadaan diri mereka sendiri. Menurut Ghailan Al Dimasyqi pendiri aliran ini, manusia berkuasa atas perbuatan – perbuatannya . manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjahui perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dirinya sendiri.[4] Pendapat mereka sebagian besar sama dengan muktazilah hanya saja kalau muktazilah mengatakan baha perbuatan menusia yang baik dijadikan Tuhan, dan yang buruk tidalk dijadikan oleh Tuhan, sedangkan qadariyah menyatakan bahwa baik dan buruk tidak dijadikan oleh Allah.
2.
Aliran Jabariyah
Jabariya mengandung arti memaksa,
menurut Al-Syahrastani, jabariah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba
seorang hakikat dan menyadarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Paham yang
dibawa ole Jahm Ibn Safwan adalah lawan ekstrim dari paham yang dianjurkan oleh
Ma’bad dan Ghailan. Manusia menurut Jahm tidak mempunyai kekuasaan untuk
berbuat apa apa. Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri
dan tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah
dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya. Paham ini diduga telah ada sejak sebelum
agama Islam datang kemasyarakat arab. Mereka pada mulanya merupakan pengikut
ahlussunah wal jamaah, tetapi mereka lebih ekstrim menyatakan bahwa sekalian
yang terjadi di alam ini pada hakikatnya dijadikan oleh Tuhan, sehingga kalau
orang meninggalkan sholat ataupun melakukan kejahatan maka semuanya tidak apa
apa karena hal itu dijadikan oleh Allah. Perbuatan yang dilakukan manusia baik
yang terpuji maupun yang tercela hakikatnya bukanlah hasil pekerjaannya sendiri
melainkan hanyalah ciptaan Allah, yang dilaksanakanNya melalui tangan menusia.[5]
Begitulah pendapat dari aliran ini. Dengan firman Allah dalam surat ; Al-Saffat
ayat 96, ditegaskan : Allah, menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.[6]
3.
Aliran
Maturidiyah
Adapun kaum:
Muturidiyah, khususnya kelompok Bukhara, mereka menganut pendapat bahwa Tuhan
memiliki kekuasaan muthlak. Menurut al-Bazdawiy, Tuhan memang berbuat apa saja
yang dikehendakiNya dan menentukan segala-galanya menurut kehendakNya. Tidak
ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan tidak larangan-larangan
terhadap Tuhan. Akan tetapi walau bagaimanapun juga faham mereka tentang
kekuasaan Tuhan tidaklah semuthlak faham Asy’ari. Bukhara
dalam mempertahankan kemuthlakan kekuasaan Tuhan, akan tetapi tidak pula
memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan oleh kaum Mu’tazilah bagi
kekuasaan muthlak Tuhan. Batasan-batasan yang diberikan oleh kaum Maturidiy
kelompok samarkand ini, adalah :
- Kemerdekaan dalam
kemauan dan perbuatan yang menurut pendapat mereka ada pada manusia
- Keadaan Tuhan menjatuhkan hukuman bukan
sewenang-wenang, akan tetapi berdasarkan atas kemerdekaan manusia dalam
mempergunakan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya untuk berbuat baik atau
Adapun kaum Maturidiy kelompok Samarkand, tidaklah sekeras kelompok
berbuat jahat.
4.
Aliran
Asy’-Ariyah
Paham ini meletakkan kekuasaan Allah
diatas segalanya dan berlaku terhadap segala sesuatu, sehingga manusia pada
hakikatnya tidak mempunyai daya dan kekuasaan apapun untuk berbuat sesuatu
kecuali jika kekuasaan dan kemurahan Allah mendukung perbuatan itu, meskipun
perbuatan itu baik ataupun buruk harus melalui persetujuan Allah. Sehingga
keadilan menurut asy’ariyah adalah bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak
terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaannya,
sebaliknya ketidak adilan adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya,
yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang.
Jadi menurut Asy’ariyah semua system
nilai yang ada baik itu baik buruk, benar salah, adil ataupun dhalim semuanya
dipandang dari sudut kekuasaan Allah, sehingga apapun yang diperbuat Allah
kepada makhluknya merupakan suatu hal yang benar meskipun menurut pandangan
manusia hal itu salah.
Bagi Al-Asyari maupun Mu’tazilah
Allah mempunyai keadilan dan kekuasaan, bagi Mu’tazilah keadilan Allah lebih
besar dari kekuasaan, Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi
pahala bagi yang berbuat baik. bagi Al-Asyari kekuasaan Allah melebihi
keadilannya. Karena Allah maha kuasa atas segala sesuatu.[7]
D.
Konsep Tuhan Menurut Islam
Konsep
Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari konsep
Tuhan tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain,
seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep alam, konsep manusia,
konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang
lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan
mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.
konsep
Tuhan dalam Islam otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang juga
bersifat otentik dan final, lafdhan wa ma’nan dari Allah , Shalih fi
kulli zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Prof. Al-Attas
menjelaskan “The nature of God as revealed in Islam is Derived from
Revelation”.[8]
Konsep
Tuhan dalam Islam bersifat “haq”. Bukan Tuhan hasil personofikasi,
sebagaimana agama lain melakukannya sebagai penyelamat, penebus dosa, Bapa,
anak, ruh qudus dan sebagainya. Dan bukan juga seperti Tuhan dalam konsepsi
Aristotle, yaitu Tuhan filsafat, yang sering diistilahkan dengan penggerak yang
tidak bergerak, Tuhan yang ada dalam pikiran manusia. Yang berari bahwa ketika
manusia tidak berfikir Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada. Tuhan adalah Dzat
yang transenden dan mutlak, yang sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka
tidak tepat manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri
mengenai personifikasi ataupun atribusi kepada Dzat Pencipta.[9]
Konsep
Tuhan dalam Islam telah memperlihatkan kemurnian dan kejelasan dengan konsep
Tuhan dalam agama lain (Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dsb) maupun dengan
konsep Tuhan dalam pandangan penggagas pluralisme agama. Baik agama lain maupun
kaum pluralis, sama-sama menghadapi problem teologis. Kalangan non muslim
membangun konsep Tuhan di atas landasan yang rapuh, sedangkan kalangan pluralis
membangun doktrinnya di atas keraguan-raguan(skeptis) dengan meragukan
kebenaran yang seharusnya diyakini.
E. Makna LAA ILAAHA ILLALLAH
Konsep
Tuhan dalam Islam dirumuskan dalam al-Qur’an yang tergambar dalam syahadat
tauhid “Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah” (tiada Tuhan selain
Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Seseorang yang bertauhid, akan
mengikrarkan dan meyakini, bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah
dan ditaati adalah Allah. Bukan Tuhan yang lain. Kemudian ia juga harus
menyatakan bahwa Muhammad sebagai utusan Allah yang membawa risalah untuk
mengenalkan Allah kepada hambanya. Tauhid disini dinamakan tauhidullah,
yakni pengenalan dan pengakuan akan Allah Yang maha Esa sebagai satu-satunya
Tuhan
Konsep
Laa ilaaha illallah, banyak kita temukan dalam al-Qur’an, diantaranya,
Dalam surah Muhammad ayat 13 , Allah telah menyatakan “ketahuilah bahwa
tiada tuhan selain Allah. Dalam surah Thaha ayat 13-14, Allah berfirman, “
Aku memilihmu, maka perhatikan apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesunggunya
Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain-Ku. Karena itu, sembahlah Aku dan
dirikanlah Shalat untuk mengingat-Ku” [10].
Ayat ini merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Kemudian juga
dalam surat al-Isra’, Allah berfirman, “Tidak ada Tuhan selain Dia”.
Dari beberapa ayat tersebut,nampak jelas bahwa Tuhan dalam Islam adalah
Allah.
Selain
terdapat dalam Al-Qur’an, konsep Laa ilaaha illallah juga terdapat
dalam beberapa hadis. Diantaranya, dari ‘Abd Allah ibn Abi Qotadah dari
ayahnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda, siapa yang mengucap, ‘Aku bersaksi
tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah’, dengan
lisannya, dan dengan ini kalbunya tentram, niscaya ia diharamkan menghuni
neraka. Riwayat lain, dari Mu’ad ibn Jabal meriwayatkan dari Rasulullah saw.
bahwa beliau bersabda, “Siapa yang akhir perkataannya Laa Ilaaha Illallah
lalu meninggal Dunia, niscaya ia masuk surga.
F. Makna
Allah
Allah
adalah sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi,
terunik; zat yang maha suci , yang maha mulia; daripada-Nya kehidupan berasal
dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt.
Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak
Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah
tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan
menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut
istilah-istilah yang mereka tentukan.[11]
Istilah
nama Allah sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan
dalam Islam. Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta
sepakat menggunakan nama Lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena
tidak terdapat problem dalam penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan
pun, dan siapapun, umat Islam akan selalu menyebut Tuhannya dengan
“Allah”. Hal ini dikarenakan nama Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan
sumber yang utama, wahyu al-Qur’an, dan bukan berdasarkan tradisi ataupun
budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami
perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak
awal.
Allah
swt. (Allah, kata agung (lafadz al-jalalah) adalah nama diri (ism al-dzat)
Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya. Kata itu tersusun dari empat huruf. Jika
huruf pertama, alif dihilangkan, tiga huruf lainnya simbol alam
semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunya) dan langit gaib di atas
cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah) .
Huruf pertama, alif, merupakan sumber segala sesuatu, dan huruf terakhir, hu
(Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Mahasuci dari semua
sekutu.[12]
Secara
kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu
mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilaah
(Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang
maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang
tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang
Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya
ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha
Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan
kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah
mempunyai sifat perkasa.
Konsep
Allah juga telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu
menerangkan masalah makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab
pra-Islam dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah,
yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat orang-orang Arab pra Islam yang
berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang mereka pahami. Kedua,
orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra Islam yang menggunakan kata Allah
untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah berarti
Tuhan Injil. Ketiga, Orang-orang Arab pagan, Arab jahiliyah murni
non-kristen dan non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Hal ini
terjadi ketika seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan Al-A’sha
Al-Kabar menulis puisi pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah
kearah monoteisme.[13]
Konsep Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah,
dapat diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit
dan bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air
dari langit, tempat menggantungkan harapan.
Tuhan
yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain
dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19.
Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan
kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain
surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa
sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad
ayat 4.
Menurut
informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah
sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan
melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada
sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang
sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat
dibagi menjadi bagian-bagian.
Keesaan
Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang
lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha
illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam
setiap tindakan dan ucapannya. Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah
yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai
kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan
kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.
Allah
juga merupakan sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud
tertinggi, terunik; zat yang maha suci , yang maha mulia; daripada-Nya
kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno
menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak
pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah
SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia
merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan
menamai-Nya menurut istilah-istilah yang mereka tentukan.[14]
Secara
kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu
mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata
Ilaah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan
atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai
kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai
nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah
adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang
dipakai bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada
sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang
Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa.
Dalam
kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum
Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya mengutusnya membawa
Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan
nasab-Nya. Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah
al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya
dengan menggunakan kalimat perintah:
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak
dan tidak pula diperanakkan.
Surah
al-Ikhlash ini berisi sebagian al-asma’ul husna. Pengertian “Allah Ahad’ adalah
Allah itu satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan-Nya.
Ibnu Abbas dan sekelompok mufassir al-Qur’an berkomentar bahwa pengertian Allah
Ahad adalah Allah itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.[15]
Sebagian filsuf Arab, diantaranya Ibnu Sina, berpendapat bahwa pengertian
‘Allah Ahad’’ adalah bahwa Allah itu satu (sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan
keterdahuluan-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang menyertai-Nya dalam
sifat-sifat wajib-Nya. Dia wajib bersifat ada dan mengetahui segala sesuatu,
hidup namun tidak akan mati, mengubah namun tidak pernah berubah.
Menurut
sebagian pakar bahasa, Allah SWT. Berfirman, “Qul huwa Allahu Ahad”, bukan “Qul
huwa Allahu Wahid”. Kata Wahid termasuk kategori bilangan sehingga
sangat mungkin yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun kata Ahad
tidak dapat dibagi lagi, baik dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifat-Nya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengenai kekuasaan
Allah Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Allah tidak disifati dengan sifat
sifat makhluknya. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui. Tetapi
kesemuanya itu tidak sama dengan apa yang dimiliki oleh makhluk ataupun
manusia. Sehingga sifat Allah tidak boleh direka reka bentuknya, dan juga tidak
boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaannya dan nikmatnya,
atau bahwa murka Allah adalah siksanya dan ridha Allah adalah pahalanya, karena
hal itu berarti meniadakan sifat sifat Allah, sebagaimana pendapat yang
dipegang oleh ahli qadar dan golongan muktazilah. Beliau juga menyatakan bahwa
orang yang menyifati Allah dengan sifat sifat manusia berarti ia telah kafir.
Mengenai kekuasaan
Allah tentu saja kita akan merujuk kepada ayat ayat yang menjelaskan hal itu.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat
20:
ß%s3t ä-÷y9ø9$# ß#sÜøs öNèdt»|Áö/r& ( !$yJ¯=ä. uä!$|Êr& Nßgs9 (#öqt±¨B ÏmÏù !#sÎ)ur zNn=øßr& öNÍkön=tæ (#qãB$s% 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# |=yds%s! öNÎgÏèôJ|¡Î/ öNÏdÌ»|Áö/r&ur 4 cÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ÖÏs% ÇËÉÈ
Artinya
:
Hampir-hampir
kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka,
mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka
berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan
penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.(Q.S. Al
Baqarah : 20).[16]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi.1992.Semarang: Toha
Putra, jilid 1.
Bahrun Abu Bakar,L.C
dengan judul Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul Ayat, Cet. IV, Bandung:
Sinar Baru, 1997.
Departemen
Agama, AL Quran terjemah, Semarang, Toha Putra, 2007.
Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj.
‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011).
Harun Nasution, Teologi
Islam, UI-Press, Jakarta, 1986.
Isma'il Raji Al-Faruqi, Al-Tawhid.
Cetakan IV. The International Institute of Islamic Thought, (Herndon
USA, 1992).
Imam
Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain,
diterjemahkan
K.H.Salihun
A. Nasir, Pemikiran Kalam, Rajawali
Pers, Jakarta.2010.
Khafrawi Ridwan, MA, Ensiklopedia Islam,
(Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997).
Muhammad kamil Hasan Al-Mahami, Al-Maushu’ah al-Qur’aniyyah (terj.
Ahmad Fawaid Syadzili; Ensiklopedi Al-Qur’an), (Jakarta Timur: Kharisma Ilmu,
2005).
S.M. Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphisics of Islam,
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003).
[1] Departemen Agama, (2007), AL
Quran terjemah, Semarang, Toha Putra. Hlm. 5
[3] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan
Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, diterjemahkan Bahrun Abu Bakar,L.C
dengan judul Tafsir Jalalain Berikut Asbaabun Nuzul Ayat, Cet. IV, Bandung:
Sinar Baru, 1997, h. 511-512
[4]
Harun Nasution, (1986), Teologi
Islam, UI-Press, Jakarta. Hlm. 35
[5] K.H.Salihun A. Nasir, (2010), Pemikiran Kalam, Rajawali Pers, Jakarta.
Hlm. 144
[6] Ibid, Harun Nasution. Hlm. 35
[7] Ibid, Harun Nasution, Hlm.64
[9] Isma'il Raji Al-Faruqi, Al-Tawhid. Cetakan IV. The International Institute
of Islamic Thought, (Herndon USA, 1992).
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan
dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003), hal. 105.
[15] Muhammad kamil Hasan Al-Mahami, Al-Maushu’ah
al-Qur’aniyyah (terj. Ahmad Fawaid Syadzili; Ensiklopedi Al-Qur’an),
(Jakarta Timur: Kharisma Ilmu, 2005), hal. 20-21
0 komentar:
Posting Komentar