PENDAHULUAN
Kita
tidak dapat berbuat sesuatu pun juga,
kecuali kalau kita hidup, artinya kita mempunyai nyawa dibadan. Nyawa tidak
dapat kita adakan sendiri. Jika nyawa hendak melayang, tak dapat dan tak kuasa kita
menahannya. Jika ia sudah hilang, tak dapat dan tak kuasa kita mengembalikan
atau menggantikannya.
Sebaliknya
Allah berkuasa untuk sewaktu-waktu mencabut nyawa kita. Maka jika kita hidup,
dan berbuat sesuatu, nyatalah hal itu bergantung kepada kehendak dan takdir
Allah semata-mata. Sebab hanya dengan izinnya kita hidup dan bernyawa.
Bukan
hanya hidup atau mati saja yang tergantung pada kehendak dan takdir Allah. Kita
lahir kedunia pun, tidak memilih ibu, bapak dan tanah air. Padahal sebagian
besar nasib dan kehidupan kita tergantung kepada bangsa, golongan dan tempat
kelahiran. Keadaan rumah tangga, ibu, bapak, pendidikan, pangkat,derajat,
kedudukan bangsa dan tanah air mempengaruhi kedudukan kita dalam pergaulan
hidup. Dalam hal itu lepas dari kekuasaan kita tergantung pada kehendak dan takdir
Allah belaka.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TAKDIR DAN LANDASAN HUKUM
Beriman
kepada takdir artinya seseorang mempercayai dan meyakini bahwa Allah SWT telah
menjadikan segala makhluk dengan kudrat dan iradatnya dan dengan segala
hikmahnya. Kewajiban setiap orang Islam untuk mempercayai atau meyakini takdir
sebagaimana ia beriman kepada rukun iman yang lain. Iman kepada takdir sering
disebut juga dengan iman kepada qada dan qadar. Qada artinya
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT sejak zaman azali tentang
segala sesuatu yang menyangkut makhluknya, seperti bulan mengitari matahari,
api membakar, nasib baik dan buruk, manfaat dan malapetaka, sukses dan gagal,
sehat dan sakit dan sebagainya. Sedangkan qadar adalah perwujudan dari
ketentuan-ketentuan Allah SWT yang telah ada sejak zaman azali.[1]
Beriman
kepada takdir bagi setiap orang muslim bukan dimaksudkan untuk menjadikan
manusia lemah, fasif, statis atau manusia yang menyerah tanpa usaha. Bahkan
dengan beriman kepada takdir mengharuskan manusia untuk bangkit dan berusaha
keras demi mencapai takdir yang sesuai dengan kehendak atau yang di inginkan.
Sebagaimana
firman Allah di dalam surat Ar-ro’du
ان الله لا يغير ما بقو م حتى يغير وا ما با
نفسهممم ( الرعد : 11)
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum ( masyarakat) sehingga mereka mengubah (dapat)
mengubah nasib mereka sendiri.
Manfaat langsung yang dapat
dirasakan oleh setiap orang yang beriman kepada takdir diantaranya ialah, mendorong lahirnya niat dan keberanian dalam
menegakkan kebenaran, menimbulkan ketenangan jiwa dan pikiran, tidak putus asa
dalam menghadapi setiap persoalan dan selalu tawakkal kepada Allah dalam
menghadapi segala persoalan hidupnya.
Sebagaimana firman Allah dalam
Al- Qur’an
ما
اصا ب من مصيبة فى الارض ولا في انفسكم الا فى كتب من قبل ان نبر اها ان ذلك على
الله يسير ( الحديد: )
Artinya:
Tiada suatu bencana pun yang
menimpa dibumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitssssab ( Lauhul Mahfuz) sebelum
kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. ( QS. Al-Hadid :22)
Dalam persoalan mengimani takdir, orang Islam sepakat perlunya meyakini atau mempercayai adanya
ketentuan-ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk yang ada di alam
semesta ini. Namun mereka berbeda dalam memahami dan mempraktekkannya. Ada
diantara mereka yang memahami bahwa adanya takdir Allah berarti manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilih, segala
gerak dan perbuatan yang dilakukan
manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Manusia menurut mereka
sama dengan wayang yang digerakkan oleh ki dalang, karena itu manusia tidak
mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Pendapat
ini dikeluarkan oleh golongan jabariyah yang dipelopori oleh Jahm bin
Safwan.
Pendapat yang lain memahami
bahwa manusia mampu mewujudkan tindakan dan perbuatannya. Tuhan tidak ikut
campur tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu
terjadi karena takdir Allah SWT.Paham mereka
dalam hal ini sama dengan pendapat Mu’tazilah . Dan golongan mereka
disebut dengan aliran Qadaryah yang dipelopori oleh Ma’bad Al- Jauhari
dan Ghailan Al- Dimsiki.
1.
Iman kepada taqdir mengandung empat unsur : [2]
a.
Mengimani bahwa Allah SWT mengetahui segala sesuatu
secara global maupun terperinci, azali dan abadi, baik yang berkaitan dengan
perbuatannya maupun perbuatan para hambanya.
b.
Mengimani bahwa Allah telah menulis hal itu di “ Lauh
Mahfuzh”.
Mengenai
dua hal tersebut di atas Allah berfirman dalam Al- Qur’an
الم
تعلم ان الله يعلم مافى السماء والارض ان
ذلك فى كتب ان ذلك على الله يسي
Artinya:
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
SWT mengetahui apa saja yang ada dilangit dan dibumi , bahwasanya yang demikian
itu terdapat dalam sebuah kitab ( Lauh Mahfuzh) sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.
c.
Mengimani bahwa seluruh yang ada tidak akan ada,
kecuali dengan kehendak Allah SWT, baik yang berkaitan dengan perbuatannya
maupun yang berkaitan dengan perbuatan makhluk-makhluknya.
Firman
Allah dalam Al-Qur’an
وربك يخلق ما يشاء ويختا ر
Artinya:
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan apa
yang dia pilih.... ( Al- Qashash : 68)
d.
Mengimani bahwa seluruh yang ada, zatnya, sifatnya dan
geraknya diciptakan oleh Allah.
Firman
Allah dalam Al- Qur’an
الله خا لق كل شيئ وهو على كل شئ وكيل
Artinya:
Allah menciptakan segala sesuatu dan
dia memelihara segala sesuatu. ( Az Zumar : 62)
B.
PEMIKIRAN TOKOH ISLAM TENTANG TAQDIR
Menurut paham
Ahlussunnah waljama’ah bahwa beriman kepada qadar Allah hukumnya wajib. Tidak
ada suataupun yang mampu mengelak dari kehendak dan kekuasaannya. Tidak terjadi
sesuatupun kecuali atas kehendak dan keinginannya.
Pengakuan
terhadap al-qadar merupakan salah satu bentuk ketundukan kepada Allah
dan pengakuan terhadap kemahaluasan ilmunya yang meliputi segala sesuatu, serta
ketentuannya sejak azali atas segala sesuatu dengan hikmahnya. [3]
Sedangkan
Mu’tazilah lebih berlebihan lagi dengan
menafikan al- qadr dalam
arti al –ilm dan al-taqdir. Mengenai masalah ini mereka
mengatakan bahwa “ semua urusan ditetapkan sekarang” atas dasar bahwa semua
perbuatan diciptakan oleh manusia sendiri.
Paham Jabariyah
memahami al-qadr secara berlebihan, menurut mereka bahwa al-qadr mutlak dari Allah dengan menafikan kehendak
manusia dalam melakukan perbuatannya. Berbeda dengan paham Jabariyah, Qadariyah
menyatakan bahwa semua perbuatan manusia adalah karena kehendaknya sendiri,
bebas dari kehendak Allah.
Jika perbedaan
itu kita analisa, ada tiga pandangan didalamnya, yakni paham al-qadr ekstrim
( jabariyah) paham al-qadr moderat( ahlussunnah) dan paham al-qadr liberal
( mu’tazilah). Jabariyah menjurus kepada fatalisme dan fasifisme, bahwa manusia
tdak bebas berbuat, tapi hanya menerima apa adanya saja. Mu’tazilah lain lagi,
memang kalau faham ini dilaksanakan, manusia akan bersipat dinamis dan aktif,
namun dampak negatifnya seolah-olah menafikan bahwa didalam tindakan manusia
itu ada karya atau campur tangan Allah. Sedangkan Ahlussunnah berusaha
menengahi antara kedua paham tersebut, artinya dalam perbuatan manusia ada
kerja sama antara Tuhan dan manusia. Manusia tidak akan meneriama apa adanya,
tapi juga berusaha untuk mencapai yang terbaik, tanpa harus melupakan keputusan
semuanya ditangannya.
C.
PENGARUH TAKDIR DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Beberapa
ayat Al-Quran al-Karim menjelaskan adanya qadha dan qadar serta
pengaruh mutlaknya, dan bahwa setiap peristiwa alami pasti telah didahului oleh
kehendak Ilahi dan bahwa hal itu telah tersurat sebelumnya dalam suatu
"kitab yang nyata". Misalnya:“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di
bumi, dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam suatu
kitab sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah.” (QS 57 : 22)[4]
Adapun
pengaruh takdir dalam kehidupan manusia mencakup dalam dua aspek yaitu ada pengaruh
negatif dan pengaruh positif.
Adapun
pengaruh positif atau bisa juga dibilang hikmah beriman kepada Takdir adalah :
bahwasanya beriman kepada takdir dapat membuat manusia sadar bahwa segala apa
yang ada di alam ini berjalan mengikuti ketentuan dan hikmah Allah yang maha
bijaksana. Dan jika sekiranya ditimpa sesuatu musibah, dia tidak akan mengeluh
dan putus asa,tetapi dia akan tabah dan sabar menghadapinya karena segala
sesuatu yang berlaku atas dirinya dan dibumi ini karena sesuatu ketentuan dan
hikmah yang telah digariskan oleh Allah SWT sejak dari azali. Dengan begitu,dia
tidak akan hilang semangat dan tidak putus asa menghadapi tantangan dalam
hidupnya. Dan juga sebaliknya jika dia memperoleh keberhasilan dan
kecemerlangan dia tidak akan lupa diri dan angkuh,tetapi akan dihadapi dengan
penuh syukur serta memuji Allah yang telah melimpahkan karunianya kepadanya.
Jadi beriman
kepada takdir memberikan kepada manusia suatu pegangan batin yang kukuh dan
keseimbangan rohani yang stabil, baik pada waktu senang karena suatu
keberhasilan , maupun pada waktu ditimpa musibah. Dan dengan beriman kepada
takdir, orang-orang mukmin akan selalu
bersikap tawakkal atas segala usaha yang telah dilakukan , sebab dia selalu
ingat bahwaorang boleh berusaha atau bekerja dengan segala tenaga dan kuasa
yang diberikan Allah padanya,tetapi hasil
dan usahanya tergantung sepenuhnya kepada kehendak dan karunia Allah
SWT.
Takdir menurut orang beriman untuk berusaha dan
bekerja lalu tawakkal ,dan akhirnya bersyukur kepada Allah atas keberhasilan
usahanya atau bersabar atas kegagalan atau musibah yang menimpanya ,inilah
bekal dan pegangan hidup yang kukuh dan mulia bagi manusia diatas bumi ini.
Adapun pengaruh negatif atau kesalahan dalam
memahami takdir akan membawa akibat fatal bagi manusia, menyebabkan hidupnya
akan tergelincir kedalam akidah dan cara hidup yang salah ,kekeliruan umum
terhadap takdir adalah segala sesuatu,baik dan buruk, bahagia dan sengsara,mati
dan hidup, dan sebagainya, telah ditetapkan secara pasti oleh Allah, maka
manusia ibarat robot atau wayang yang rela menerima apa adanya, dengan kata lain
tidak mau berusaha hanya pasrah terhadap takdir atau ketentuan Allah.
Dalam masalah
ini ada dua golongan yang tersesat:[5]
Pertama:
golongan jabariyah. yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia itu terpaksa
atas perbuatannya,tidak punya iradah( kemauan) dan qudrah(kemampuan).
Kedua:golongan
qodariyah . yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatannya
ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya, kehendak serta takdir allah tidak
ada pengaruhnya sama sekali.
D.
MACAM-MACAM TAKDIR
Taqdir itu bisa dibagi menjadi
beberapa bagian :
1.
Takdir dalam
Ilmu Allah yang azali
Allah SWT telah mengetahui semua yang bakal terjadi didunia dan akhirat,
tiada sesuatu pun yang tersenbunyi bagi Allah, sekalipun hal itu belum terjadi,
seperti umur, rejeki, jodoh, untung, baik dan sebagainya. Tak lain tak bukan
hanyalah Allah yang menentukan semua itu. Inilah yang dimaksudkan takdir dalam
ilmu Allah SWT. Takdir dalam ilmu Allah tersebut tidak akan akan berubah dan
tidak bisa diubah oleh siapapun, sehingga disebut juga Qada Mubram atau takdir
yang pasti.
2.
Takdir yang
tertulis di Lauhul Mahfuz
Takdir yang tertulis di lauhul Mahfuz masih mungkin berubah, karena takdir
yang tertulis tersebut ada yang merupakan keputusan final dan ada yang belum.
Yang belum meruapakan keputusan final yang disebut Muallaq. Menurut Qurtubi,
semua takdir Allah yang ditetapkan di Lauhul Mahfuz itu, jika Allah menghendaki
akan dihapus dan ditetapkan sesuai dengan kehendak-Nya. Penghapusan dan
penatapan itu sesuai dengan yang ada dalam Ummul Kitab, yakni ilmu Allah yang
azali[6].
E.
HIKMAH BERIMAN KEPADA TAKDIR
Seorang
muslim wajib beriman dengan taqdir sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Allah
swt dan rasul-Nya di dalam Al-quran dan sunnah Rasul. Memahami taqdir harus
secara benar, karena kesalahan memahami taqdir akan melahirkan pemahaman dan
sikap yang salah pula dalam menempuh kehidupa di dunia ini[7].
Ada beberapa
hikmah yang dapat dipetik dari beriman kepada taqdir ini, antara lain yaitu:
Melahirkan
keasaran bagi umat manusia bahwa segala sesuatu di dalam semesta ini berjalan
sesuai dengan undang-undang, aturan dan hukum yang telah di tetapkan dengan
pasti oleh Allah swt. Oleh sebab itu manusia harus mempelajari, memahami, dan
mematuhi ketetapan Allah swt tersebut supaya dapat mencapai keberhasilan baik
di dunia maupun di akhirat nanti.
Mendorong
manusia untuk berusaha dan beramal dengan sungguh-sungguh untuk mencapai
kehidupan yang baik di dunia dan diakhirat, mengikuti hukum sebab akibat yang
telah ditetapkan oleh Allah swt.
Mendorong manusia
untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah swt yang memiliki kekuasaan dan
kehendak yang mutlak, di samping memiliki kebijakan, keadilan, dan kasih sayang
kepada makhluk-Nya.
Menanamkan
sikap tawakal dalam diri manusia, karena menyadari bahwa manusia hanya bisa
berusaha dan berdoa, sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah swt
Mendatangkan
ketenangan jiwa dan ketentraman hidup, karena meyakini apa pun yang terjadi
adalah atas kehendak dan qadar Allah swt.
BAB III
KESIMPULAN
Agama
Islam termasyhur sebagai agama tawakkal mengarah kepada takdir, menerima nasib
yang menimpa dengan sabar. Oleh sebab itu, orang mengatakan bahwa ummat Islam
menjadi ”fatalistis” artinya menyerah, menerima saja nasib yang menimpanya.
Tidak ada kekerasan hati untuk berusaha dengan tenaga sendiri, menolak apa yang
tidak disukainya atau berusaha untuk mencapai sesuatu yang diingininya. Untung
dan malang adalah takdir Allah.
Sebaliknya
begitulah seterusnya fatalisme itu menyebabkan orang Islam menjadi fanatic, menjadi
nekat, tak takut mati, berani menyambung nyawa dengan tidak memikirkan bahaya
dan bencana yang dihadapi.
Segala
kepercayaan tentang kadar dan takdir, yang mewajibkan kita untuk bertawakkal
dan sabar timbul , dan berdasarkan atas ajaran tauhid.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim
Ahmad Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam , Pustaka Setia Bandung. 2002
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin,Prinsip-prinsip Dasar Keimanan,,
Megatama Sofwa Pressindo,2003
Sori Monang Rkt, an-Nadwi, M.Th, Tauhid Kajian Iman Dalam Agama Islam,
Panjiaswaja Press, Medan, 2011.
Quthb Sayyid.Tafsir
fi zhalalil Quran, Jakarta:2002 jilid 2
[1]Drs.
H.Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung. 2002. Hal.137
[2]Syaikh
Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Prinsip-prinsip
Dasar Keimanan, Megatama Sofwa Pressindo,2003. Hal.77
[3]H.Sori
Monang Rkt, an-Nadwi, M.Th, Tauhid Kajian
Iman Dalam Agama Islam, Panjiaswaja Press, Medan, 2011. Hal.59
[6]Drs.
H.Muhammad Anhmad, Tauhid Ilmu Kalam,,
hal.121
0 komentar:
Posting Komentar