BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur
dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan
dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti
ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan
tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat
Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah
warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda
kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah
anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan
pernikahan.
Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara
singkat adalah, mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan
diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju
kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha
Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak
sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:
Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
dan Dasar Hukum Nikah.
Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu
( النكاح ), adapula yang mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh
dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj.[1][7] Sedangkan
menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan
antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada prinsipnya perkawinan dan
pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya saja.[2][8] Perkawinan
adalah ;
عبارة عن العقد المشهور المشتمل على الأركان
والشروط
Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas
dan terangkum atas rukun-rukun dan syarat-syarat.[3][9]
Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat
(Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan
perkawinan pada :
عقد يتضمن ملك وطء بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما
Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang
laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali
dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata
tersebut.[4][10]
Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa
perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari
beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa
perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS.Ar-Rum ayat 21)
B. Rukun
Nikah
1.
WALI
Berdasarkan
sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:
ايُّمَا امْرَأةِ نُكِحَتْ بِغَيْرِ
اذِنِ وَلِيْهَا، فَنِكَحُهَا بَاطِلٌ. بَاطِلٌ
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya
maka nikahnya batal… batal.. batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
2.
SAKSI
Rasulullah
sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:
لاَ نِكَاحَ الاَّ بِوَلِي وَ
شَاهِدَيْ عَدْلِ
Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil.”(HR Al-Baihaqi dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul Athaar
berkata : “Hadist di kuatkandengan hadits-hadits lain.”)
3.
AKAD NIKAH
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua
pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul
adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan
ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan
mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya,
misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar
sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Dalam
aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
1.
Adanya suka sama suka dari kedua
calon mempelai.
2.
Adanya Ijab Qabul.
3.
Adanya Mahar.
4.
Adanya Wali.
5.
Adanya Saksi-saksi.
Untuk
terjadinya aqad yang mempunyai akibat-akibat hukum pada suami istri haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1.
Kedua belah pihak sudah tamyiz.
2.
Ijab qobulnya dalam satu majlis,
yaitu ketika mengucapkan ijab qobul tidak boleh diselingi dengan kata-kata
lain, atau menurut adat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa
ijab qobul.
Di
dalam ijab qobul haruslah dipergunakan kata-kata yang dipahami oleh
masing-masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang
timbul dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan
kata-kata kasar. Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah
terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
Syeikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata dalam kitabnya Minhaajul
Muslim. “Ucapan ketika akad nikah seperti: Mempelai lelaki : “Nikahkanlah
aku dengan putrimu yang bernama Fulaanah.” Wali wanita : “Aku nikahkan kamu
dengan putriku yang bernama Fulaanah.” Mempelai lelaki : “Aku terima nikah
putrimu.”
4.
MAHAR (MAS KAWIN)
Mahar
adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mahar juga merupakan pemberian
seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya, yang selanjutnya akan
menjadi hak milik istri secara penuh.
Kita bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan karena tidak
ada batasan mahar dalam syari’at Islam, tetapi yang disunnahkan adalah mahar
itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon suami. Namun Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah saw.
bersabda: “Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).”(H.R.
Al-Hakim: 2692)
C. Khitbah
( peminangan )
Seorang lelaki yang
telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang
wanita tersebut kepada walinya.
Apabila seorang lelaki
mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh
lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita
tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ
عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita
yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita
atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Yang perlu
diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita
didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan
wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut
ini:
1.
Memilihkan suami yang
shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si
wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia
menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
فَسَادٌ عَرِيْضٌ إِذَا
خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ
تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَ
“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang
kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya
kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak
melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
2.
Meminta pendapat
putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan
seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu.
D. Hukum
Menikah
Adapun
hukum menikah, dalam pernikahan berlaku hukum taklifi yang lima yaitu :
1.
Wajib bagi orang yang sudah mampu
nikah,sedangkan nafsunya telah mendesak untuk melakukan persetubuhan yang
dikhawatirkan akan terjerumus dalam praktek perzinahan.
2.
Haram bagi orang yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan nafkah lahir dan batin kepada calon istrinya,sedangkan
nafsunya belum mendesak.
3.
Sunnah bagi orang yang nafsunya telah
mendesak dan mempunyai kemampuan untuk nikah,tetapi ia masih dapat menahan diri
dari berbuat haram.
4.
Makruh bagi orang yang lemah syahwatnya
dan tidak mampu member belanja calon istrinya.
5.
Mubah bagi orang tidak terdesak oleh alas
an-alasan yang mewajibkan segera nikah atau karena alas an-alasan yang
mengharamkan untuk nikah.
E. Anjuran
Islam
Islam
telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah. Dan ada banyak hikmah di balik
anjuran tersebut. Antara lain adalah :
1.
Sunnah Para Nabi dan Rasul
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِّن
قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَن
يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan
keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat melainkan
dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab. (QS. Ar-Ra'd : 38).
Dari Abi
Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Empat hal yang merupakan sunnah
para rasul : [1] Hinna',1
[2] berparfum, [3] siwak dan [4] menikah. (HR. At-Tirmizi 1080)
2.
Bagian Dari Tanda Kekuasan Allah
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم
مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم
مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Ruum : 21)
3.
Salah Satu Jalan Untuk Menjadi Kaya
وَأَنكِحُوا الأَيَامَى مِنكُمْ
وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء
يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur : 32)
4.
Ibadah Dan Setengah Dari Agama
Dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang
diberi rizki oleh Allah SWT seorang istri shalihah berarti telah dibantu oleh
Allah SWT pada separuh agamanya. Maka dia tinggal menyempurnakan separuh
sisanya. (HR. Thabarani dan Al-Hakim 2/161).
5.
Tidak Ada Pembujangan Dalam Islam
Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah
seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka
diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina.
Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan
yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu maka dianjurkannya supaya
kawin dan melarang hidup membujang dan kebiri.
Seorang muslim tidak halal menentang perkawinan dengan
anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia
mampu kawin; atau dengan alasan supaya dapat seratus persen mencurahkan
hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Abu Qilabah mengatakan "Beberapa orang sahabat Nabi
bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak
kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka berkata
Rasulullah s.a.w, dengan nada marah lantas ia berkata:
'Sesungguhnya orang-orang sebelum
kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka,
oleh karena itu Allah memperketat juga, mereka itu akan tinggal di gereja dan
kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia, berhajilah,
berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.
Kemudian
turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ
تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ
اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang
dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya
Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas. (QS. Al-Maidah: 87)
6.
Menikah Itu Ciri Khas Makhluk Hidup
Selain itu secara filosofis, menikah atau berpasangan itu
adalah merupakan ciri dari makhluq hidup. Allah SWT telah menegaskan bahwa
makhluq-makhluq ciptaan-Nya ini diciptakan dalam bentuk berpasangan satu sama
lain.
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا
زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan segala
sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS. Az-Zariyat : 49)
F. Tujuan
Nikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya
bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan
manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut
ini:
1.
Melaksanakan anjuran
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...
“Wahai
sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah
maka hendaknya ia menikah….”
2.
Memperbanyak keturunan
umat ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا
الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah
kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti)
aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”
3.
Menjaga kemaluannya
dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari
yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ
إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ.
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada
laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata
mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah
kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan
mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
G. Hikmah
Pernikahan
1.
Untuk menjaga kesinambungan generasi
manusia.
2.
Menjaga kehormatan dengan cara
menyalurkan kebutuhan biologis secara syar'i.
3.
Kerja sama suami-istri dalam
mendidik dan merawat anak.
4.
Mengatur rumah tangga dalam
kerjasama yang produktif dengan memperhatikan hak dan kewajiban.
H. Pemikiran
Tentang Pencatatan Perkawinan di Indonesia.
Undang-undang
RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974
dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan.
Menurut
UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU
Perkawinan).
Mengenai
sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU
Perkawinan, yang berbunyi:
1.
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
2.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hal
ini terus terjadi karena perkawinan menurut agama dan kepercayaannya sudah
dianggap sah, banyak pasangan suami istri tidak mencatatkan perkawinannya.
Alasan yang paling umum adalah biaya yang mahal dan prosedur berbelit-belit.
Alasan lain, sengaja untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum
dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan
seterusnya (bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini
dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah sirri.
Secara
garis besar, perkawinan yang tidak dicatat di negara Indonesia ini sama saja
dengan membiarkan adanya hidup bersama dengan status hukum yang tidak tetap,
dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan),
terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan
dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, memiliki
akibat hukum dengan dijadikannya satus anak tersebut sama dengan anak yang
lahir dari perkawinan diluar nikah, sehingga anak tersebut hanya mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan
bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak.
Sebenarnya,
tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian,
jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu
kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi
hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan anak-anak. Kemudian,
ketika seseorang tidak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akta
nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan atau pengesahan
nikah) kepada pengadilan agama.
I.
Nikah Siri
1.
Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini
dilakukan secara rahasia (siri), dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju
atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin
memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan
syariat.
2.
Pernikahan yang sah secara agama namun tidak
dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.
Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya
pernikahan sirri adalah:
1.
Nikah sirri dilakukan karena hubungan yang
tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau salah satu pihak. Misalnya orang
tua kedua pihak atau salah satu pihak berniat menjodohkan anaknya dengan calon
pilihan mereka. Orang tuanya menikahkan siri dengan tujuan untuk mengikat dulu
supaya tidak diambil oleh orang lain.
2.
Nikah sirri dilakukan karena adanya hubungan
terlarang, misalnya salah satu atau kedua pihak sebelumnya pernah menikah
secara resmi dan telah mempunyai istri atau suami yang resmi, tetapi ingin
menikah lagi dengan orang lain.
3.
Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari
dosa karena zina. Kekhawatiran karena hubungannya yang semakin hari semakin
dekat, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perbuatan yang melanggar
syariah. Pernikahan siri dianggap sebagai jalan keluar yang mampu menghalalkan
gejolak cinta sekaligus menghilangkan kekhawatiran terjadinya zina.
4.
Nikah sirri dilakukan karena pasangan merasa
belum siap secara materi dan secara sosial. Hal ini biasa dilakukan oleh para
mahasiswa, disamping karena khawatir terjadi zina, mereka masih kuliah, belum
punya persiapan jika harus terbebani masalah rumah tangga. Status pernikahanpun
masih disembunyikan supaya tidak menghambat pergaulan dan aktivitas dengan
teman-teman di kampus.
5.
Nikah sirri dilakukan karena pasangan memang
tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum. Hal ini bisa terjadi pada suatu
masyarakat wilayah desa terpencil yang jarang bersentuhan dengan dunia luar.
Lain lagi dengan komunitas jamaah tertentu misalnya, yang menganggap bahwa kyai atau pemimpin jamaah adalah rujukan utama
dalam semua permasalahan termasuk urusan pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh
kyainya, pernikahan sudah sah secara Islam dan tidak perlu dicatatkan, juga
nikah sirri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur administrasi
yang berbelit-belit.
6.
Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan
dan menghalalkan hubungan badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada
kecocokan maka akan mudah menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang
berbelit-belit di persidangan. Dilihat dari tujuannya, hal ini sangat
merendahkan posisi perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada penghargaan
terhadap lembaga pernikahan baik secara islam maupun secara hukum.
Di
Indonesia telah terjadi pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga, dengan
disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU ini,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU
Perkawinan, yang berbunyi:
1.
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
Mengenai
pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975
tentang pencatatan perkawinan. “Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut
agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan
perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup
menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975” dengan dicatat di
kantor catatan sipil.[7][3]
Namun
yang terjadi di lapangan adalah, terjadi dikotomi antara apa yang dipahami
sebagai syarat sah perkawinan menurut kelompok tradisional dengan kelompok
modern. Kali ini, fenomena itu dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang mengesahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini
dihasilkan dari forum ijtima yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari
berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di
kompleks pondok modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur”[8][4].
Pembahasan mengenai pernikahan di bawah tangan ini menghasilkan dua jawaban
1.
Peserta ijtima’ ulama sepakat bahwa pernikahan
harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah
prefentif untuk menolak dampak negatif atau mudharat.
2.
Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena
telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.[9][5]
Dua
jawaban di atas menunjukkan ketidak tegasan MUI dalam menanggapi masalah nikah
di bawah tangan tersebut. Hal tersebut berbeda dengan pemikiran modern yang
terus berjuang untuk melaksanakan pencatatan nikah sebagai bagian dari rukun
nikah sehingga tidak terdapat kemudharatan dan dapat dijadikan sebagai alat
perlindungan terhadap wanita. Menurut Muhammad Quraish Shihab setiap perkawinan
yang dilakukan di Indonesia harus dicatatkan kepada pemerintah untuk memperoleh
status hukum yang pasti.[10][6]
Sebagai
contoh bahayanya nikah tidak dicatat adalah, seseorang akan mengalami kegagalan
untuk mendapatkan kepastian hukum, hanya karena tidak dapat menunjukkan bukti
yang otentik tentang identitas pribadi seseorang. Misalnya dalam keluarga, akta
perkawinan mempunyai aspek hukum untuk digunakan sebagai bukti jika dalam keluarga
terjadi peristiwa kematian. Misalnya seorang suami meninggal dunia, dengan
meninggalkan seorang isteri dan tiga orang anak, yang akan tampil secara
bersama-sama sebagai ahli waris dari si suami (yang meninggal).
Bagaimana
caranya untuk membuktikan bahwa ahli waris tersebut adalah isteri yang sah dari
suaminya yang telah meninggal dunia. Demikian pula bagaimana caranya untuk
membuktikan bahwa ketiga anak tersebut benar-benar anak kandung yang sah
(nasabnya kepada orang tuanya). Dalam hal ini, tidak akan timbul kesulitan
apabila telah memiliki bukti otentik berupa akta perkawinan yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa dengan akta
perkawinan, maka isteri yang ditinggalkan oleh suaminya mempunyai suatu
pegangan (alat bukti) yang menunjukkan bahwa dia benar-benar sebagai janda dari
si suami yang telah meninggal dunia.
Berdasarkan
pemaparan di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari pencatatan nikah adalah
untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal perkawinan dan nasab anak.
Segala peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber adanya kepastian perkawinan
di bawah tangan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya pada saat
terjadinya koflik dan pertengkaran yang berujung dengan perceraian walau
perceraian tersebut itu pun di bawah tangan juga.
J. Putusan
MUI Tentang Nikah di Bawah Tangan.
Kewenangan MUI dalam
berfatwa adalah tentang :
1. Masalah-masalah
keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara
nasional; dan
2. Masalah-masalah
keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain. (pasal 10).[11][11]
Adapun
tentang nikah di bawah tangan dijelaskan di dalam diskripsi masalahnya bahwa
nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang
terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum
Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[12][12]
Perkawinan
seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan
seringkali menimbulkan dampak negatif (mudharat) terhadap istri dan atau
anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris
dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi
sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan
yang sah.
Komisi
fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain untuk
membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat. Istilah ini
lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Nikah di bawah tangan yang dimaksud
dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang
ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam). Namun, nikah ini tanpa pencatatan
resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Oleh
karenanya, peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan
secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah prefentif untuk menolak
dampak negatif atau al-mudharat (saddan li adz-dzari’ah).
Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan
rukun nikah, tetapi haram jika terdapat sesuatu yang mudharat.[13][13]
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya
hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun
sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah
apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga
masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya diumumkan kepada khalayak
luas, antara lain melalui walimatul-'ursy. Nabi saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ(رواه ابن
ماجة عن عائشة)
Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana (HR. Ibnu Majah dari
'Aisyah).
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
(رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ)
Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan
memotong seekor kambing (HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf).
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran
telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena
perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa
negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur
perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan
perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi
pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya
perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan
lain-lain.
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan
dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau
salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya
hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan
akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi
antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan
dibuatnya undang-undang atau peraturan lainnya, adalah merupakan kebutuhan yang
tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam.
Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah
yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ
اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ
Tidak diingkari perubahan
hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan[14][14]
:
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ
تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ
وَاْلعَوَائِدِ
Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan
zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat
Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. (Al-Baqarah ayat 282)
Akad
nikah bukanlah muamalah biasa, akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti
disebutkan dalam al-Qur'an :
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS.An-Nisa ayat 2)
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain
harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih
utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung
manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat.
Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan
perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan
perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama
isteri dan anak-anak.[15][15]
Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam
penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam kaidah:
تَصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ
بِالْمَصْلَحَة
Suatu tindakan pemerintah
berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
K.
Hak istri atas suami (yaitu hak istri yang harus dipenuhi oleh
suami)
1)
Terkait
kebendaan
Salah satunya
adalah memberikan mahar. Karena mahar merupakan keadilan dan keagungan bagi
para wanita. Harta suami adalah harta istri, harta istri adalah miliknya
sendiri.
“Berikanlah
maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib,
kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nisa 4)
Kedua adalah
memberikan belanja (nafkah)
Memenuhi
kebutuhan makan, tempat tinggal, pakaian, pengobatan. Dan kadar nafkah yang
harus diberikan kepada istri janganlah berlebihan. Berikan secara wajar.
“…dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS Al
Baqarah 233)
2)
Hak
bukan kebendaan (rohaniyah)
ü
Pertama,
mendapatkan pergaulan secara baik dan patut.
“…pergaulilah
mereka (istri-istrimu) secara baik. Kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa 19)
ü
Kedua,Jangan
sampai perbuatan dan perkataan suami menyakiti hati istrinya. Tahu sendiri kan
hati wanita itu seperti apa? Banyak ditemukan suami yang menghardik istrinya
karena tak bisa melampiaskan kekesalan yang ada dalam hatinya.
ü
Ketiga,
mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada
suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh kesulitan dan mara bahaya.
Maka, jika dia adalah suami yang baik, dia tak akan pernah menjual istrinya ke
rumah-rumah bordil atau tampil seksi di depan umum hanya untuk mendapatkan sesuap
nasi. Hal itu bukanlah pernikahan. Jika terjadi seperti itu, gugat cerailah,
karena pernikahan seperti itu tak akan mendatangkan manfaat.
ü
Keempat,
mendapatkan rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta dari suaminya.
ü
Kelima,
mendapatkan pengajaran ilmu syariat dan akhlak. Kalau ada istri yang telah
menunaikan kewajibannya dengan baik sebagai maka suami TIDAK BOLEH melarangnya
untuk menghadiri majelis ilmu selama suami belum bisa memenuhi kebutuhan
tersebut.
ü
Keenam,
berlaku adil ketika melakukan poligami. Tenang, nggak semua pria ingin
melakukan poligami kok. Jadi jangan anti dengan kata yang satu ini.
L.
Hak suami atas istri (Yaitu kewajiban yang HARUS dipenuhi istri
kepada suaminya)
Hak suami yang wajib dipenuhi istri adalah hak yang sifatnya bukan
benda, karena istri seharusnya tak dibebani kewajiban kebendaan yang diperlukan
untuk mencukupkan kebutuhan hidup dalam rumah tangga. Bahkan diutamakan istri
tak bekerja mencari nafkah. Hal ini dimaksudkan agar istri dapat fokus membina
keluarga. Menjadi perkecualian jika tulang rusuk telah menjadi tulang punggung
keluarga, yang muncul seperti kasus TKW yang bekerja di luar negeri sedangkan
suaminya “angon” di rumah, atau wanita sebagai single parent yang dicerai atau
suaminya meninggal.
ü
Pertama,
menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.
ü
Kedua,
memberikan rasa tenang dalam rumah tangganya.
ü
Ketiga,
taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya untuk melakukan
perbuatan maksiat.
ü
Keempat,
menjaga dirinya dan harta suamninya bila suaminya tidak ada di rumah.
ü
Kelima,
menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak disukai suaminya. Termasuk
di dalamnya adalah mengundang teman lelaki dan perempuan nya ke rumah selama
suami tidak ada.
ü
Keenam,
menjauhkan dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang
tidak enak didengar.
ü
Ketujuh,
tidak keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring teknologi yang semakin canggih
izin lebih mudah dilakukan dengan mengirim sms, telepon dan media yang lain.
M.
Hak bersama suami istri
Telah
dihalalkan bergaul dan bersenang-senang di antara keduanya. Hanya saja dilarang
untuk mendatangi istri di saat haid, nifas, ihram, dzihar (menyamakan
punggung istrinya seperti punggung ibunya sehingga tak ada keinginan untuk
menggaulinya). Seorang suami yang mendzihar istrinya harus membayar kafarat
(denda) dengan membebaskan 1 budak atau puasa selama 2 bulan berturut-turut
jika ingin kembali pada istrinya.
1.
Pertama,
hak untuk saling mendapatkan warisan
2.
Kedua, Hak
untuk mendapatkan perwalian nasab anak
3.
Suami
istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
4.
Hendaknya
saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19
– Al-Hujuraat: 10)
5.
Hendaknya
menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
6.
Hendaknya
saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
7.
Sedangkan
kewajiban yang harus dilakukan bersama dalam rumah tangga bagi suami istri
adalah memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari pernikahan dan
memelihara kehidupan pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rohmah.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Bagaimanapun aturan undang-undang perlu untuk
diperhatikan manakala tidak ada satu hal yang mengharuskan untuk berpaling
darinya. Sehingga dalam kondisi ikhtiyari (normal), pasangan suami
isteri sebaiknya mengikuti segala aturan undang-undang. Tetapi ketika ada
kebutuhan untuk melakukan pernikahan tanpa pencatatan, pernikahan ini
boleh-boleh saja dilakukan. Dan memang, tidak ada cukup alasan fiqh
untuk melarang apalagi mentidaksahkan pernikahan ini.[16][16]
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung
manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat.
Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan
perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan
perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA
ý Al-Jaziri,
Abdurrahman. 1986. Al-Fiqh ‘ala
Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-Fikr
ý Al-Imam
Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi al-Syafi’i. tanpa
tahun. Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Usaha
Keluarga
ý Djalil, Abdul. 2000. Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan.
Yoyakarta: LKIS Yogyakarta
ý Kamal,
Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang
ý Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam.
Yogyakarta: UII Press
ý Redaksi
Sinar Grafika. 2000. Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan
Perkawinan Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai
Negeri Sipil. Jakarta: Sinar Grafika
ý Shihab,
Muhammad Quraish. 2010. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui.
Jakarta: Lentera Hati
ý Sudarsono.
1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
ý Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah
ke-35 disidangkan pada: Jum'at, 8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
ý MUI
online, Keputusan Komisi B Ijtima MUI dalam http://halalguide.com
ý Pencatatan
Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com
ý Situs
Resmi Majelis Ulama Indonesia, http://www.mui.or.id
[3][9] Al-Imam Taqi al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Damsyiqi
al-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, (Semarang:
Usaha Keluarga, t.th.), Juz 2, h. 36
[4][10] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Jilid IV, h.
[5][1] Muhammad Quraish Shihab, 1001
Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 557-558
[6][2]
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan
Khusus Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri
Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),
h. 1-2
[15][15] Fatwa Tarjih Hukum Nikah Sirri, Muktamar Muhammadiyah ke-35 disidangkan pada: Jum'at, 8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007 M
[16][16] Abdul Djalil, Fiqh Rakyat
Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yoyakarta: LKIS Yogyakarta, 2000), h. 289
RUKUN NIKAH
BalasHapusDi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Rukun dan Syarat Perkawinan Bab IV Pasal 14 telah tertulis sebagai berikut:
Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.